Loading
PLTS Terapung Cirata 192 Mwac yang berhasil memenangkan Subroto Award 2025 Kategori Energi Baru dan Terbarukan. (Foto: resourcesasia.id)
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Target mobilisasi pembiayaan iklim global senilai US$ 1,3 triliun per tahun menjadi agenda besar Presidensi Brasil dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-30 (COP30). Indonesia, sebagai negara dengan potensi surya terbesar di Asia Tenggara, berada pada momentum strategis untuk mendorong akses pendanaan hijau demi mempercepat transisi energi—termasuk ambisi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 100 gigawatt (GW) dalam satu dekade mendatang.
Laporan World Energy Outlook 2025 keluaran International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa negara-negara berkembang berpeluang menambah kapasitas energi terbarukan hingga 600 GW per tahun pada 2035. Lompatan ini tidak hanya menekan ketergantungan pada batu bara, tetapi juga mempercepat pergeseran menuju sistem energi yang lebih bersih. Mengacu data IEA, sekitar 55% konsumsi batu bara global masih didominasi pembangkit listrik di negara-negara berkembang—sebuah sinyal bahwa percepatan energi terbarukan akan sangat menentukan arah pasar energi global.
Namun, tantangan mendasarnya adalah biaya modal yang masih tinggi. Proyek energi bersih di negara berkembang, termasuk Indonesia, membutuhkan modal dengan bunga dua kali lipat daripada negara maju. Beban biaya ini membuat banyak proyek energi terbarukan sulit bersaing dan kurang menarik minat investor.
“Tantangan terbesar adalah menurunkan biaya modal yang kini berada di kisaran 8–12%. Tanpa penurunan ini, target 100 GW PLTS akan sulit dicapai,” ujar Tiza Mafira,
Direktur Climate Policy Initiative. Ia menegaskan bahwa reformasi mendalam perlu dilakukan, mulai dari penjaminan investasi, insentif fiskal, hingga penyelarasan regulasi lintas kementerian. Pada forum COP30 di Belém, Brasil, Pemerintah Indonesia dituntut memastikan bahwa proyek energi terbarukan memiliki stabilitas jangka panjang di mata investor global.
Pandangan itu sejalan dengan pendapat Bhima Yudistira, Direktur Eksekutif CELIOS. Ia menekankan perlunya restrukturisasi aliran pendanaan agar visi 100 GW PLTS tidak berhenti pada slogan. “Pemerintah harus mengalihkan insentif dari energi fosil, menghentikan dukungan kredit untuk PLTU batu bara, serta menurunkan risiko investasi energi terbarukan. Integrasi PLTS dengan program elektrifikasi desa dan wilayah perbatasan harus dipercepat,” jelasnya.
Bhima mengingatkan bahwa mempertahankan ketergantungan pada batu bara dan gas justru membawa kerugian ekonomi dan kesehatan yang berlipat. Studi CELIOS memperkirakan potensi kerugian jangka panjang mencapai ratusan triliun rupiah bila ekspansi energi fosil tetap dipertahankan.
Baca juga:
Danantara Siapkan 33 Proyek Waste to Energy, Dorong Indonesia Capai Net Zero Emission 2060Sebaliknya, program 100 GW PLTS dapat menjadi lokomotif ekonomi hijau nasional. Tata Mustasya, Direktur Eksekutif SUSTAIN, menilai COP30 menjadi momentum bagi Indonesia untuk menerjemahkan visi energi surya menjadi kebijakan yang konkret dan terukur. “PLTS berpotensi menurunkan biaya listrik, mengurangi subsidi energi, sekaligus menciptakan lapangan kerja hijau dan memperkuat kedaulatan energi,” katanya.
Tata menambahkan bahwa pendanaan dapat diperkuat melalui skema alternatif, termasuk pungutan produksi batu bara yang berpotensi menghasilkan Rp 360 triliun dalam empat tahun. Pendanaan tersebut dapat dipadukan dengan insentif pemanfaatan energi surya untuk rumah tangga, industri, hingga komersial, serta percepatan
industrialisasi panel surya dalam negeri. Dengan pembangunan PLTS hingga ke 80 ribu desa, Indonesia berpeluang tampil sebagai pemimpin transisi energi di kawasan Global South.