Selasa, 30 Desember 2025

WALHI Nilai Draf Second NDC Indonesia Gagal Wujudkan Keadilan Iklim


 WALHI Nilai Draf Second NDC Indonesia Gagal Wujudkan Keadilan Iklim Ilustrasi - WALHI menilai draf Second NDC Indonesia gagal menjawab keadilan iklim. (katadata.co.id)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai penyusunan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) atau target iklim kedua Indonesia belum menjawab prinsip keadilan iklim. Dokumen ini dinilai disusun secara terbatas tanpa partisipasi publik yang bermakna, serta masih memuat kontradiksi antara target penurunan emisi dan arah kebijakan ekonomi nasional.

Direktur Eksekutif Nasional WALHI Boy Jerry Even Sembiring menegaskan bahwa target dalam SNDC Indonesia masih bersifat semu karena kebijakan nasional masih berpijak pada model ekonomi ekstraktif.

“Target iklim dalam SNDC ini masih semu. Emisi besar tetap dihasilkan dari kebijakan nasional yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi ekstraktif,” ujar Even Sembiring dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (23/10/2025).

Menurut WALHI, tidak akan ada aksi iklim yang adil tanpa keterbukaan informasi dan partisipasi rakyat dalam proses perumusan.

Tujuh Catatan Kritis WALHI terhadap SNDC

WALHI mencatat tujuh poin utama yang dianggap menjadi kelemahan mendasar dari draf SNDC Indonesia:

1. Masih Bertumpu pada Energi Fosil

Target energi nasional 2025–2034 masih mengandalkan tambahan kapasitas 16,6 GW berbasis fosil, termasuk 10,3 GW dari pembangkit listrik gas. WALHI menilai hal ini menambah emisi dan beban fiskal negara. Roadmap penutupan PLTU batu bara juga belum tersedia, sementara rencana coal phase-down pada 2030 dianggap bukan solusi strategis untuk menekan emisi secara signifikan.

2. Transisi Energi yang Menyisakan Masalah Baru

SNDC masih mengandalkan bioenergi, hidrogen hijau, dan panas bumi. WALHI menyoroti dampak sosial dan ekologis dari proyek-proyek ini, seperti perluasan kebun energi, deforestasi, hingga perampasan wilayah adat. Di Merauke misalnya, rencana pembukaan satu juta hektare hutan untuk kebun tebu berpotensi menambah emisi dan merusak ekosistem lokal.

3. Target Kendaraan Listrik dan Ancaman Tambang Nikel

Target 2 juta mobil listrik dan 13 juta motor listrik pada 2030 dinilai akan memperluas izin tambang nikel, terutama di Sulawesi, Maluku, dan Raja Ampat. Pada 2022, luas konsesi tambang nikel mencapai 1 juta hektare, dengan 765 ribu hektare di kawasan hutan. Ironisnya, sebagian besar smelter nikel masih mengandalkan PLTU batu bara sebagai sumber listrik.

4. Program Pangan dan Energi Berisiko Deforestasi Besar

Program swasembada pangan dan energi dengan membuka hingga 20 juta hektare hutan disebut bertentangan dengan komitmen iklim. WALHI memperkirakan pembukaan 4,5 juta hektare hutan saja bisa melepaskan 2,59 miliar ton karbon ke atmosfer.

5. Pendekatan Adaptasi Belum Konkret

Meski SNDC menekankan adaptasi berbasis ekosistem dan komunitas, implementasinya dinilai minim. Hingga Agustus 2025, ada 848 ribu hektare wilayah kelola rakyat yang belum diakui secara hukum. WALHI menantang pemerintah untuk menyelesaikan pengakuan wilayah ini sebelum COP30.Di sisi lain, WALHI juga meminta pemerintah meninjau ulang 248 izin tambang yang beroperasi di 43 pulau kecil agar target rehabilitasi mangrove 2 juta hektare pada 2030 tidak gagal.

6. Pendanaan Iklim Belum Berpihak pada Rakyat

Mekanisme pendanaan iklim melalui BPDLH dinilai masih birokratis dan tersentralisasi. WALHI menyoroti kasus pemberian dana iklim kepada Medco Group untuk proyek kebun energi di wilayah adat suku Marind yang justru merusak hutan.

7. Bisnis Karbon dan HWP Dinilai Menyesatkan

SNDC masih mengandalkan carbon offset dan emissions trading system untuk sektor energi dan industri. WALHI menilai skema ini berpotensi memperkuat praktik greenwashing. Selain itu, memasukkan Harvested Wood Products (HWP) sebagai serapan karbon dianggap hanya mendorong bisnis penebangan hutan tanpa memperhatikan fungsi sosial dan ekologis hutan.

Kritik terhadap Proses dan Arah Kebijakan

Menurut WALHI, penyusunan SNDC dilakukan tanpa konsultasi publik yang luas dan transparan. Pendekatan yang terlalu teknokratis serta ambisi pertumbuhan ekonomi 8% dinilai justru memperlemah komitmen iklim Indonesia.

“Substansi SNDC belum menjawab krisis iklim secara struktural. Prinsip keadilan iklim tidak tercermin dalam proses maupun substansi dokumen ini,” tegas Even Sembiring.

“Sudah saatnya kebijakan iklim dikembalikan ke rakyat agar adaptasi dan mitigasi dilakukan secara adil dan berbasis keadilan lingkungan.”

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Green Economy Insight Terbaru