Loading
Tara Lehtonen (kiri) diperkenalkan sebagai pengganti Sarah Dzafce (kanan) pada konferensi pers hari Kamis (18/12/2025). CEO organisasi Miss Finland, Sunneva Sjögren, berada di tengah. (Foto:Emmi Korhonen/Lehtikuva)
HELSINKI, ARAHKITA.COM — Pemerintah Finlandia menghadapi sorotan tajam internasional setelah sebuah foto mantan Miss Finlandia 2025, Sarah Dzafce, memicu tuduhan rasisme dan kemarahan di berbagai negara Asia. Polemik ini tak hanya berdampak pada dunia kontes kecantikan, tetapi juga menyeret aktor politik dan sektor pariwisata Finlandia.
Kontroversi bermula dari foto Dzafce yang beredar luas di media sosial, menampilkan dirinya menarik sudut matanya—gestur yang oleh banyak pihak dianggap melecehkan dan berkonotasi rasis terhadap orang Asia. Situasi semakin memburuk karena unggahan tersebut disertai keterangan bernada stereotip, yang memicu kecaman keras baik di Finlandia maupun di sejumlah negara Asia.
Akibat tekanan publik, Organisasi Miss Finlandia secara resmi mencabut gelar Dzafce sebagai Miss Finlandia 2025, atau dikenal sebagai Miss Suomi. Dalam pernyataan terbukanya, organisasi tersebut menyampaikan penyesalan mendalam dan menegaskan bahwa rasisme tidak dapat ditoleransi dalam bentuk apa pun.
Dzafce sendiri membantah memiliki niat menghina. Kepada media lokal, ia menyatakan bahwa foto tersebut merupakan gambar pribadi yang dibagikan oleh orang lain tanpa persetujuannya, lengkap dengan keterangan yang bukan berasal darinya. Ia juga telah menyampaikan permintaan maaf terbuka melalui media sosial dan mengakui bahwa posisinya sebagai Miss Finlandia membawa tanggung jawab moral yang besar dilansir asahi.com
Namun polemik tidak berhenti di situ. Kontroversi kian memanas setelah sejumlah politisi sayap kanan Finlandia memposting foto serupa sebagai bentuk dukungan terhadap Dzafce. Aksi tersebut justru memperluas kritik dan memicu reaksi keras dari publik internasional.
Merespons eskalasi isu yang meluas ke ranah diplomatik, Perdana Menteri Finlandia Petteri Orpo menyampaikan permintaan maaf resmi kepada sejumlah negara Asia, termasuk Jepang dan Korea Selatan. Permintaan maaf itu disampaikan melalui pernyataan berbahasa lokal yang dipublikasikan oleh kedutaan besar Finlandia.
“Unggahan-unggahan tersebut tidak mencerminkan nilai kesetaraan dan inklusi Finlandia. Rasisme dan diskriminasi tidak memiliki tempat dalam masyarakat kami,” tegas Orpo. Ia juga menekankan bahwa para politisi memiliki tanggung jawab untuk menjadi teladan dalam menjaga nilai-nilai tersebut.
Pemerintah Jepang turut menyatakan keprihatinannya. Sekretaris Kabinet Utama Minoru Kihara menyebut pihaknya telah berkomunikasi langsung dengan otoritas Finlandia dan berharap ada langkah konkret untuk merespons kasus ini secara tepat.
Dampak polemik ini turut merembet ke sektor pariwisata dan penerbangan. Finlandia dikenal sebagai destinasi favorit wisatawan Asia, namun di media sosial muncul seruan boikot perjalanan ke negara tersebut, termasuk terhadap Finnair. Pihak maskapai mengakui bahwa kontroversi ini berdampak pada operasional internasional mereka, meski tanpa merinci besarnya kerugian.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa di era digital, satu unggahan dapat berkembang menjadi isu global dengan implikasi sosial, politik, hingga ekonomi. Sensitivitas budaya dan tanggung jawab publik kini menjadi tuntutan yang tak terpisahkan, terutama bagi figur publik dan pejabat negara.