Selasa, 30 Desember 2025

RUU Perampasan Aset: Efektif Lawan Korupsi atau Berpotensi Disalahgunakan?


 RUU Perampasan Aset: Efektif Lawan Korupsi atau Berpotensi Disalahgunakan? Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Prof. Pujiyono Suwadi dalam diskusi publik Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) dengan tajuk "Tarik Ulur Nasib RUU Perampasan Aset" di Jakarta, Jumat (19/9/2025). (ANTARA/Aria Ananda)

JAKARTA, ARAHKITA.COM – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali jadi sorotan publik. Sejumlah pakar hukum menilai regulasi ini penting untuk mengembalikan kerugian negara akibat kejahatan ekonomi, namun tetap menyisakan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan wewenang.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof. Pujiyono Suwadi, menegaskan bahwa pembahasan RUU ini harus dilakukan dengan hati-hati. Menurutnya, draf April 2023 yang mengatur mekanisme non-conviction based asset forfeiture—atau perampasan aset tanpa putusan pidana—memang dinilai efektif, tapi rawan disalahgunakan.

“Kalau tidak ada batasan jelas, aset masyarakat bisa saja disita hanya berdasarkan dugaan. Padahal tujuan utama RUU ini adalah mengembalikan kerugian negara, bukan menakut-nakuti publik,” ujarnya dalam diskusi publik Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) bertema “Tarik Ulur Nasib RUU Perampasan Aset” di Jakarta, Jumat (19/9/2025).

Ia menambahkan, negara memang perlu instrumen hukum yang kuat untuk menjerat aset hasil tindak pidana, terutama korupsi. Namun, partisipasi publik wajib dijamin agar aturan ini tidak menimbulkan masalah baru, sebagaimana pernah terjadi di masa lalu dalam kasus “cek kosong” era Orde Lama.

Senada dengan itu, Indonesian Corruption Watch (ICW) juga memberikan catatan kritis. Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, menekankan lima poin penting yang harus diatur secara rinci dalam RUU Perampasan Aset:

Kejelasan siapa saja yang bisa dikenai aturan ini.

  1. Hukum acara yang terperinci.
  2. Batas nilai aset yang dapat dirampas.
  3. Pembatasan pada tindak pidana tertentu, seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.
  4. Mekanisme check and balance terhadap kewenangan kejaksaan.

“RUU ini jangan sampai berubah menjadi alat kriminalisasi. Fokusnya harus pada kejahatan ekonomi terorganisir, bukan diarahkan sembarangan,” tegas Wana.

ICW juga berharap DPR segera menerbitkan draf terbaru RUU tersebut dengan melibatkan partisipasi publik secara luas. Menurut mereka, absennya keterlibatan masyarakat dalam pembahasan sebelumnya justru menimbulkan kecurigaan bahwa regulasi ini digulirkan hanya untuk meredam kegaduhan politik.

“Target DPR memang tiga bulan, tapi jangan hanya mengejar waktu. Substansi harus matang agar tidak menjadi alat abuse of power. Yang dikejar adalah aset hasil kejahatan, bukan hak masyarakat yang sah,” tambah Wana dikutip Antara.

Sebagai catatan, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah menetapkan 67 RUU masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026. Salah satunya adalah RUU Perampasan Aset yang akan dibahas bersama pemerintah dan DPD RI.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Hukum & Kriminalitas Terbaru