Loading
Presiden Prancis Emmanuel Macron AntaranewsXinhuaGao Jing
NEW YORK, ARAHKITA.COM - Presiden Prancis Emmanuel Macron secara resmi mengumumkan pengakuan terhadap negara Palestina dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Senin (22/9). Langkah ini menandai bergabungnya Prancis dengan Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal yang telah lebih dulu menyatakan pengakuan mereka sehari sebelumnya.
Deklarasi Macron disampaikan dalam konferensi yang dipimpin bersama oleh Prancis dan Arab Saudi untuk mendorong solusi dua negara atas konflik Israel-Palestina. Pernyataannya disambut tepuk tangan dari lebih dari 140 pemimpin dunia yang hadir, termasuk delegasi Palestina.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas juga terlihat bertepuk tangan melalui tayangan langsung, setelah dilarang menghadiri pertemuan secara fisik oleh pemerintah Amerika Serikat.
“Sesuai dengan komitmen bersejarah negara saya terhadap perdamaian Timur Tengah dan solusi dua negara, saya menyatakan bahwa hari ini, Prancis secara resmi mengakui negara Palestina,” kata Macron dalam pidatonya dilansir The Independent.
Langkah pengakuan ini terjadi di tengah intensifikasi serangan militer Israel di Jalur Gaza dan perluasan permukiman di wilayah Tepi Barat. Meskipun pengakuan simbolis oleh negara-negara besar Barat dinilai tidak akan segera mengubah situasi di lapangan, Palestina menyambutnya sebagai dukungan politik yang signifikan. Pemerintah Palestina memperkirakan total sepuluh negara akan menyatakan pengakuan resmi dalam waktu dekat.
Selama ini, sekitar 75 persen dari 193 negara anggota PBB telah mengakui negara Palestina. Namun, sebagian besar negara Barat, termasuk Amerika Serikat, menolak melakukan hal yang sama, dengan alasan bahwa negara Palestina hanya bisa terbentuk melalui perundingan langsung dengan Israel.
Pemerintah Israel di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu secara terbuka menolak pembentukan negara Palestina, baik sebelum maupun sesudah konflik Gaza yang dimulai pada Oktober 2023. Netanyahu menyebut pengakuan negara Palestina sebagai keuntungan bagi kelompok Hamas, dan mengisyaratkan kemungkinan tindakan sepihak, termasuk aneksasi wilayah di Tepi Barat.
Rencana Israel itu mendapat kecaman dari berbagai pihak. Uni Emirat Arab, salah satu negara Arab yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel melalui Perjanjian Abraham 2020, menyebut aneksasi sebagai "garis merah".
Sementara itu, juru bicara PBB Stephane Dujarric menegaskan bahwa proses menuju solusi dua negara harus terus berlanjut, terlepas dari ancaman yang datang dari pihak mana pun.
"Kita harus tetap fokus pada tujuan bersama, dan tidak membiarkan tekanan mengalihkan kita dari penyelesaian damai," ujarnya.
Netanyahu dijadwalkan bertemu Presiden AS Donald Trump pekan depan di Gedung Putih untuk membahas perkembangan terbaru, termasuk tanggapan Israel terhadap meningkatnya pengakuan terhadap negara Palestina. Ini akan menjadi pertemuan keempat mereka sejak Trump kembali menjabat sebagai presiden.
Sikap pemerintahan Trump tetap menentang pengakuan sepihak terhadap Palestina, dan menyalahkan Otoritas Palestina serta Hamas atas gagalnya perundingan gencatan senjata. Pada bulan Juli lalu, utusan Trump, Steve Witkoff, keluar dari proses negosiasi. Awal bulan ini, serangan udara Israel dilaporkan menargetkan negosiator Hamas di Qatar, yang selama ini berperan sebagai mediator utama konflik.