Loading
Arsip foto - Suasana rumah sakit tempat roket yang ditembakkan dari sisi Kamboja mendarat di dekatnya, di Provinsi Surin, Thailand (10/12/2025). ANTARA/Xinhua/HO-Royal Thai Army/aa.
JAKARTA, ARAHKITA.COM - Ketegangan di perbatasan Thailand dan Kamboja kembali memuncak. Pada Minggu (14/12/2025), Pemerintah Thailand memutuskan untuk memberlakukan darurat militer dan jam malam di sejumlah distrik, terutama di Provinsi Trat, sebagai respons atas meningkatnya konflik bersenjata dengan Kamboja.
Keputusan drastis ini diambil setelah seorang prajurit Angkatan Darat (AD) Thailand dilaporkan tewas akibat serangan roket BM-21 saat bertugas di dekat perbatasan. "Jam malam diberlakukan di empat distrik di Provinsi Trat. Pertempuran masih berlangsung di sepanjang perbatasan," ujar Juru bicara Kementerian Pertahanan Thailand, Surasant Kongsiri, seperti dikutip dari laporan media setempat.
Pemberlakuan status darurat militer memberikan kewenangan penuh kepada aparat militer untuk melakukan penahanan atau penggeledahan terhadap individu, kendaraan, atau bangunan yang dianggap mengancam keamanan nasional.
Situasi di Lapangan: Rebutan Wilayah dan Ancaman Jangka Panjang
Laporan terbaru dari media Thailand menyebutkan bahwa Pasukan Marinir Thailand berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah di Ban Sam Lang dan Ban Nong Ree di Cham Rak, Muang, setelah baku tembak sengit dengan pasukan Kamboja.
Panglima Tertinggi AD Thailand, Jenderal Chaiyapruek Duangprapat, menegaskan bahwa tujuan utama operasi militer mereka adalah untuk memastikan, "Kamboja tidak akan menjadi ancaman militer bagi Thailand dalam waktu yang lama."
Namun, pernyataan keras tersebut disambut bantahan dari pihak Kamboja. Kementerian Pertahanan Kamboja menuduh balik bahwa militer Thailand telah melancarkan serangan artileri, bahkan menggunakan jet tempur F-16, serta pergerakan pasukan infanteri ke sejumlah desa.
Korban dan Dampak Kemanusiaan: Puluhan Jiwa Melayang
Bentrok perbatasan yang berlarut-larut ini telah menimbulkan korban jiwa yang signifikan. Jumlah korban tewas kini mencapai 34 orang sejak Senin lalu, mencakup 16 tentara dan 7 warga sipil Thailand, serta 11 warga sipil Kamboja. Selain itu, lebih dari 290 tentara dan polisi dari kedua belah pihak dilaporkan terluka.
Dampak kemanusiaan juga sangat parah, di mana sekitar 700.000 orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka di kedua sisi perbatasan demi menyelamatkan diri. Ironisnya, konflik ini kembali pecah meskipun kedua negara baru saja menandatangani perjanjian damai di Kuala Lumpur pada Oktober lalu. Perjanjian tersebut langsung ditangguhkan setelah beberapa tentara Thailand terluka parah akibat ledakan ranjau darat. Situasi makin diperkeruh dengan ditahannya sekitar 18 tentara Kamboja oleh Thailand terkait insiden dalam lima bulan terakhir.
Upaya Damai ASEAN: Peran PM Malaysia
Di tengah memanasnya situasi, upaya diplomatik untuk mendamaikan Thailand dan Kamboja terus diupayakan. Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, bergerak cepat dengan melakukan pembicaraan terpisah dengan PM Kamboja Hun Manet dan PM Thailand Anutin Charnvirakul.
Melalui platform X, Anwar mendesak kedua pihak yang bertikai untuk segera menghentikan permusuhan. Ia juga mengusulkan langkah konkret: "Saya telah meminta pengerahan Tim Pengamat ASEAN (AOT) yang dipimpin Panglima Angkatan Bersenjata Malaysia untuk memantau perkembangan di lapangan," kata Anwar. Misi pemantauan ini bahkan akan "dilengkapi" dengan kemampuan pemantauan satelit AS dilansir Antara.
Sayangnya, upaya ini belum menemukan titik temu. PM Thailand Anutin Charnvirakul dilaporkan menolak gencatan senjata pada waktu yang ditetapkan karena menilai perundingan damai belum saatnya dilakukan.
Sementara itu, PM Kamboja Hun Manet menyambut baik inisiatif Anwar. "Kamboja menyambut dan mendukung inisiatif gencatan senjata oleh Anwar," ujarnya melalui Facebook.Hingga saat ini, sengketa perbatasan Thailand-Kamboja, yang telah berlangsung lama dan memicu bentrokan berulang, masih menjadi bom waktu keamanan di Asia Tenggara.