Loading
Anak-anak menghias pohon Natal di Paroki Keluarga Kudus di Gaza pada 15 Desember 2025. ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad
GAZA, ARAHKITA.COM - Umat Kristen di Jalur Gaza akhirnya kembali menggelar Misa Natal berjamaah pada Rabu (24/12/2025), untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir. Ibadah ini menjadi penanda kembalinya aktivitas keagamaan bersama setelah konflik berkepanjangan menghentikan perayaan Natal di wilayah tersebut.
Berbeda dari perayaan Natal pada umumnya, misa kali ini berlangsung dalam suasana sangat sederhana. Tidak ada lampu hias, musik, maupun dekorasi Natal. Ibadah dijalani dalam keheningan dan doa, sebagai bentuk penghormatan kepada ribuan korban yang tewas selama perang.
Selama dua tahun terakhir, komunitas Kristen Gaza yang jumlahnya relatif kecil terpaksa membatasi kegiatan ibadah. Banyak jemaat hanya bisa berdoa secara pribadi di tempat perlindungan atau di gereja-gereja yang rusak akibat konflik.
Kembalinya misa berjamaah dimungkinkan setelah tercapainya gencatan senjata terbaru dan penarikan sebagian pasukan Israel dari kawasan bersejarah Gaza, yang membuka ruang bagi warga untuk kembali ke rumah ibadah.
Salah seorang jemaat, Edward Antoine (37), mengungkapkan bahwa perayaan Natal tahun ini terasa sangat berbeda dibandingkan sebelum perang.
“Sebelum perang, kami biasa berdoa bersama, menghias pohon Natal, dan berbagi makanan manis. Tahun ini saya menghadiri misa sendirian, tetapi doa memberi saya kekuatan,” ujar Edward, yang kehilangan ibu dan saudara perempuannya dalam konflik tersebut, seperti yang dikutip dari Antara.
Sebelum perang pecah, komunitas Kristen di Gaza diperkirakan berjumlah sekitar 1.000 orang. Namun, konflik telah menimbulkan kehilangan besar. Direktur Operasi Patriarkat Latin di Gaza, George Anton, menyebut sedikitnya 53 anggota komunitas Kristen tewas, baik akibat serangan langsung maupun karena keterbatasan akses layanan medis saat berlindung di kompleks gereja.
Baca juga:
Gaza Masih Dilanda Kelaparan Meski Gencatan Senjata Berlaku, WHO Peringatkan Krisis Belum Usai“Banyak dari mereka meninggal karena luka perang atau tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai,” kata George Anton.
Perang di Gaza pecah pada 7 Oktober 2023 setelah serangan Hamas ke wilayah selatan Israel, yang kemudian dibalas dengan operasi militer besar-besaran Israel. Dampaknya, sebagian besar wilayah Gaza mengalami kehancuran, termasuk sejumlah gereja yang juga berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi umat Kristen dan Muslim.
Meski gencatan senjata membawa ketenangan relatif, rasa tidak aman masih dirasakan warga. Hilda Ayad (29) mengaku suara ledakan sesekali masih terdengar.
“Kami terkadang masih mendengar ledakan. Hari ini kami merasa cukup dengan doa. Kami hanya berusaha bertahan hidup dan berharap kematian di Gaza segera berakhir,” ujarnya.
Pihak gereja menegaskan bahwa Misa Natal tahun ini hanya sebatas ibadah keagamaan. Tidak ada perayaan publik, festival, atau musik Natal sebagai bentuk solidaritas terhadap warga Palestina yang menjadi korban konflik.
“Tidak akan ada kebahagiaan sejati selama Gaza hancur. Kehilangan kami adalah bagian dari penderitaan semua orang di sini,” kata Faten al-Salafiti (67), yang kehilangan suami dan putranya dalam serangan terhadap sebuah gereja.