Loading
Ilustrasi - Jalur Gaza setelah berbulan-bulan serangan Israel yang menghancurkan dan mematikan. ANTARA/Anadolu/py/pri.
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) disebut sebagai lembaga internasional yang paling sah untuk mengawasi masa depan Jalur Gaza. Hal ini disampaikan Profesor Ben Saul, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kontra-Terorisme, saat berbicara di National Press Club of Australia.
Menurut Saul, rencana gencatan senjata yang digagas Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan melibatkan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair tidak bisa dijadikan acuan. Pasalnya, Blair pernah terlibat dalam forum Quartet—gabungan Uni Eropa, Rusia, PBB, dan Amerika Serikat—yang dibentuk tahun 2002 untuk mendukung perdamaian di Timur Tengah, namun dinilai gagal.
“Kalau memang ingin pengawasan internasional yang memiliki legitimasi, gunakan PBB. Itu fungsi utamanya sejak awal,” tegas Saul.
Kritik terhadap Sikap Australia
Saul juga menyoroti sikap Pemerintah Australia yang dinilai lamban dalam merespons perang Israel–Palestina. Ia menyebut, pengakuan Australia terhadap Palestina sebagai negara baru terjadi setelah tekanan publik melalui aksi demonstrasi lebih dari 100 ribu orang di Jembatan Sydney Harbour.
Tekanan itu akhirnya membuat Australia menyampaikan pengakuan resmi pada Sidang Umum PBB ke-80 bulan lalu, ketika Palestina diakui sebagai negara merdeka.
“Legitimasi PBB datang dari keterlibatan semua pihak, bukan hanya dari kehendak satu tokoh seperti Donald Trump,” tambah Saul.
Isi Rencana Trump untuk GazaRencana Trump diumumkan di Gedung Putih bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Dokumen yang berisi 20 poin itu mencakup penghentian permusuhan, pembebasan sandera, dan pembentukan otoritas transisi untuk mengelola Gaza.
Selain itu, Trump juga mengusulkan pembentukan komite teknokrat Palestina non-politis yang diawasi oleh lembaga baru bernama Board of Peace (Dewan Perdamaian), dipimpin langsung olehnya dan melibatkan tokoh internasional termasuk Tony Blair.
Namun, Saul menegaskan bahwa legitimasi rencana tersebut sangat lemah karena tidak mewakili kehendak global, melainkan lebih pada inisiatif politik sepihak.
Gaza, Konflik yang Berbeda dari Perang Lain
Sementara itu, pakar hukum HAM internasional asal Australia, Chris Sidoti, menilai konflik Israel–Palestina di Gaza memiliki karakter yang berbeda dibanding perang lain.
Menurut data yang ia kutip, sejak 7 Oktober 2023 serangan Israel telah menewaskan lebih dari 66 ribu warga Gaza, mayoritas perempuan dan anak-anak.
“Tidak seperti perang di Ukraina atau konflik Sudan, warga Gaza tidak punya jalur untuk melarikan diri. Dua juta orang terjebak di wilayah seluas setengah kota Canberra,” ujar Sidoti dilansir Antara.
Ia menambahkan, penduduk Gaza menghadapi berbagai krisis serius, mulai dari serangan udara, kelaparan, kekurangan obat-obatan, keterbatasan akses rumah sakit, hingga terhambatnya pendidikan anak-anak.
“Sejak hari pertama, Israel menjalankan operasi penghancuran total. Akibatnya jutaan warga sipil Gaza hidup dalam kondisi terperangkap tanpa jalan keluar,” tegas Sidoti.