Loading
Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah Ansor dalam acara Diseminasi Laporan Sinergi Data Kekerasan terhadap Perempuan, di Jakarta, Selasa (19/8/2025). (Antara)
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat 35.533 laporan kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2024, meningkat 2,4 persen dibanding tahun sebelumnya. Dari data ini, Jawa Barat menempati posisi tertinggi dalam jumlah laporan, diikuti Jawa Timur dan DKI Jakarta.
Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Ansor, menegaskan dalam acara Diseminasi Laporan Sinergi Data Kekerasan terhadap Perempuan, Selasa (19/8/2025), bahwa setiap laporan merepresentasikan perempuan yang terluka, kehidupan yang terguncang, dan suara yang menuntut untuk didengar.
“Angka ini patut diapresiasi karena menunjukkan perempuan semakin berani melaporkan kekerasan yang dialami. Namun, tantangan perlindungan perempuan masih besar, mulai dari budaya patriarki, hambatan struktural, hingga keterbatasan hukum dan implementasinya,” ujar Maria.
Berdasarkan laporan sinergi data Komnas Perempuan, KemenPPPA, dan Forum Pengada Layanan (FPL) 2024:
Korban terbanyak berasal dari kelompok anak-anak dan remaja (46,38 persen), diikuti usia 18–40 tahun (41,10 persen).
Secara pendidikan, mayoritas korban adalah pelajar SMA sederajat (33 persen).
Dari sisi aktivitas, korban terbanyak adalah pelajar (40,26 persen), pekerja (19,47 persen), dan ibu rumah tangga (18,86 persen).
“Rumah, sekolah, tempat kerja, hingga ruang digital masih belum sepenuhnya aman bagi perempuan,” tambah Maria.
Di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), keterbatasan layanan dan infrastruktur membuat banyak kasus sulit terlaporkan. Meski begitu, tingginya laporan di Jabar dan wilayah urban lain menunjukkan akses pelaporan yang lebih baik sekaligus menegaskan kerentanan perempuan di daerah padat penduduk.
Laporan juga mengungkap tingginya angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan lebih dari 7.500 pelaku, serta kekerasan seksual yang melibatkan lebih dari 12.000 pelaku. Maria menekankan bahwa ketimpangan relasi kuasa, ketergantungan ekonomi, dan normalisasi kekerasan masih menjadi akar dari banyak kasus.
Selain itu, laporan mencatat perempuan dengan kerentanan berlapis, termasuk penyintas disabilitas, perempuan dengan HIV-AIDS, pekerja seks, pekerja migran, pengguna narkoba, serta korban dengan beragam identitas gender dan seksual. “Data ini belum sepenuhnya mencerminkan kondisi nyata karena banyak yang memilih diam. Namun keberadaan mereka dalam laporan menegaskan bahwa perlindungan harus tidak diskriminatif,” tambah Maria dikutip Antara.