Rabu, 31 Desember 2025

Atasi Persoalan Hutan, DPR Ajak Publik Beri Masukan untuk Revisi UU Kehutanan


  • Rabu, 10 Desember 2025 | 14:30
  • | News
 Atasi Persoalan Hutan, DPR Ajak Publik Beri Masukan untuk Revisi UU Kehutanan Petugas menggunakan alat berat membersihkan sampah kayu gelondongan pasca banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). ANTARA FOTO/Yudi Manar

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Anggota Komisi IV DPR RI Robert J. Kardinal mengajak masyarakat luas terlibat aktif dalam proses revisi Undang-Undang Kehutanan. Ajakan ini muncul di tengah berbagai persoalan tata kelola hutan yang terus mencuat, mulai dari banjir yang membawa kayu hanyut hingga lemahnya pengawasan reboisasi.

Robert menegaskan, Komisi IV telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Revisi UU Kehutanan dan membuka ruang seluas-luasnya bagi kampus, LSM, serta organisasi lingkungan seperti Walhi dan Greenpeace untuk menyampaikan pandangan.

“Ini penting untuk masa depan hutan kita. Semua pihak perlu bersuara,” ujarnya dalam keterangan di Jakarta.

Kerusakan Hutan dan Kayu Hanyut: Gejala dari Tata Kelola yang Tidak Beres

Robert menyebut maraknya kayu hanyut di sejumlah daerah—terutama ketika banjir melanda wilayah utara Sumatera—sebagai tanda bahwa pengelolaan hutan masih jauh dari ideal.

Ia menjelaskan bahwa perbedaan pola pemanfaatan kayu antara perusahaan HPH, HTI, hingga perkebunan sawit menjadi salah satu akar masalah.

Di sektor sawit, misalnya, pembukaan lahan dilakukan dengan pembersihan total. Kayu besar diambil untuk dijual, sementara batang kecil ditumpuk di pinggir kebun dan hanyut ketika debit air naik.

“Yang paling parah itu sawit. Mereka tebang habis sampai ke akar. Banyak yang gunakan IPK untuk mengakali aturan agar kayu bisa dijual,” jelasnya.

Kondisi serupa juga terjadi di area HTI, yang menurut Robert ikut memperparah limpahan kayu hanyut di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Reboisasi Mandek: Instrumen Penting yang Hilang Arah

Robert menyoroti hal yang lebih krusial: reboisasi yang tak berjalan. Ia menyebut hampir tidak ada perusahaan HPH yang benar-benar melaksanakan penanaman kembali setelah menebang.

Pada era Orde Baru, proses reboisasi berjalan karena adanya Dana Jaminan Reboisasi (DJR) yang dikelola Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah. Namun sejak reformasi—terlebih setelah berlakunya UU Cipta Kerja—pengelolaan dana ini berpindah ke Kementerian Keuangan dan tak lagi fokus pada pemulihan hutan.

“Coba cari HPH yang benar-benar lakukan reboisasi, tidak ada,” tegasnya.

Hal yang sama juga terjadi pada dana Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), yang dinilai belum dikelola secara optimal.

Tumpang Tindih Aturan dan Lemahnya Kajian Lingkungan

Robert juga menyinggung persoalan perubahan status kawasan hutan yang kini dapat dilakukan tanpa melibatkan Tim Terpadu (Timdu). Akibatnya, banyak daerah menurunkan status kawasan hutan menjadi Area Penggunaan Lain (APL) dengan cepat, memberi kepala daerah kewenangan besar mengeluarkan PHAT dan IPK.

Tanpa kajian AMDAL yang memadai, pengawasan lingkungan makin lemah dan kerusakan hutan makin luas.

Dorongan Hilirisasi dan Perbaikan Regulasi

Larangan ekspor kayu log yang sudah berlaku sejak 1990-an sebenarnya bertujuan mendorong hilirisasi. Namun menurut Robert, tujuan itu tidak tercapai karena kerangka regulasi yang belum tersusun dengan baik.

Karena itu, revisi UU Kehutanan disebut harus mampu mengoreksi berbagai kekeliruan, termasuk mengembalikan pengelolaan dana reboisasi ke Kementerian Kehutanan dengan komposisi pembagian anggaran yang jelas antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

“Di Papua, misalnya, sudah jelas. Dana bagi hasil reboisasi itu 60 persen untuk daerah. Tapi banyak daerah lain belum punya kejelasan seperti ini,” ujarnya.

Ajakan Kolaboratif: Mencari Solusi Bersama

Robert menutup dengan menegaskan bahwa perbaikan tata kelola hutan tidak boleh berhenti di ruang rapat atau saling menyalahkan antarpihak.Menurutnya, solusi terbaik hanya bisa hadir bila masyarakat, lembaga riset, pemerintah, pelaku industri, dan organisasi lingkungan ikut memberikan masukan substansial dalam revisi UU Kehutanan.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

News Terbaru