Selasa, 30 Desember 2025

Orang Muda Desak Akhiri “Solusi Palsu” saat Krisis Iklim Kian Menghantam Indonesia


  • Kamis, 18 Desember 2025 | 21:15
  • | News
 Orang Muda Desak Akhiri “Solusi Palsu” saat Krisis Iklim Kian Menghantam Indonesia Ilustrasi - Generasi muda Indonesia menolak solusi palsu dalam penanganan krisis iklim. (Foto: Istimewa)

JAKARTA, ARAHKITA.COM — Air bah yang merangsek masuk ke rumah warga, jalan desa yang terputus oleh longsor, hingga kawasan permukiman yang perlahan hilang akibat banjir rob kini bukan lagi peristiwa langka. Bagi banyak keluarga di berbagai daerah, hidup berdampingan dengan bencana telah menjadi kenyataan sehari-hari—sebuah kecemasan kolektif bahwa ruang hidup mereka bisa lenyap kapan saja.

Di tengah situasi tersebut, generasi muda Indonesia mulai melihat pola yang mengkhawatirkan. Intensitas bencana meningkat, tetapi pendekatan yang diambil untuk mengatasinya justru kerap melenceng dari akar persoalan. Karena itu, suara penolakan terhadap apa yang disebut sebagai false solutions atau solusi palsu dalam penanganan krisis iklim kian menguat.

Fathan Mubina (25), Geographic Information System Analyst dari Trend Asia, menyebut solusi palsu sebagai pendekatan teknokratis yang tampak canggih, tetapi sejatinya memberi ruang bagi industri untuk terus merusak lingkungan.

“Solusi palsu sering kali hanya menjadi distraksi. Emisi tetap berjalan, hutan terus hilang, sementara krisis iklimnya sendiri tidak benar-benar ditangani,” ujarnya.

Istilah false solutions merujuk pada beragam skema yang diklaim sebagai jalan keluar cepat, mulai dari pasar karbon hingga teknologi penangkap emisi. Di atas dokumen kebijakan, semuanya terlihat rapi dan menjanjikan. Namun di lapangan, dampaknya nyaris tak terasa bagi masyarakat yang terdampak langsung.

Perusahaan kerap mempromosikan operasi yang disebut lebih ramah lingkungan melalui berbagai teknologi dan jargon hijau. Grafik penurunan emisi dipajang, laporan keberlanjutan diterbitkan. Namun ketika banjir tetap merendam rumah warga dan kualitas lingkungan tak kunjung membaik, yang berubah sering kali hanya cara bercerita—bukan realitasnya.

Fathan mencontohkan berbagai skema seperti carbon market, debt swap, Carbon Capture and Storage (CCS), hingga Tropical Forest Forever Facility (TFFF). Menurutnya, pendekatan ini tidak menjawab persoalan konkret di wilayah pesisir utara Jawa seperti Demak, Jepara, Pekalongan, Semarang, hingga Cirebon.

“Banjir rob, intrusi air laut, penurunan muka tanah, hingga hilangnya lahan pertanian tetap terjadi. Bahkan ribuan keluarga terpaksa direlokasi,” katanya.

Ia menegaskan, solusi berbasis pasar dan teknologi tidak akan efektif tanpa perubahan kebijakan struktural. Selama perusakan hutan, perampasan ruang hidup masyarakat adat, dan pembangunan ekstraktif terus berlangsung, berbagai skema tersebut hanya bekerja di permukaan.

Hutan dan wilayah adat, lanjut Fathan, kerap direduksi menjadi “aset” yang bisa diperjualbelikan untuk menutup jejak emisi. Sementara di saat yang sama, perusahaan tetap bebas melanjutkan bisnis berbasis energi fosil.

“Transisi berkeadilan seharusnya dimulai dengan menghentikan pembangunan yang ekstraktif. PLTU baru, smelter yang bergantung pada PLTU captive, dan ekspansi tambang justru memperdalam ketergantungan kita pada energi fosil,” tegasnya.

Penurunan Emisi Tak Bisa Ditunda

Nada serupa disampaikan Ginanjar Ariyasuta (26), Koordinator Climate Rangers Indonesia. Ia menilai krisis iklim adalah persoalan lintas generasi yang menuntut respons cepat, bukan janji jangka panjang yang kabur.

“Kita sedang berada dalam kondisi darurat. Yang dibutuhkan adalah penurunan emisi secara cepat, bukan solusi yang hanya memindahkan beban ke generasi berikutnya,” ujarnya.

Menurut Ginanjar, banyak solusi berbasis pasar terlihat menarik dan modern, tetapi gagal menghasilkan penurunan emisi yang signifikan.“Jangan sekadar omon-omon. Generasi kami sudah menanggung dampak degradasi lingkungan. Masa depan generasi selanjutnya ditentukan oleh kebijakan hari ini,” katanya.

Bagi generasi muda, kegelisahan ini bukan sekadar wacana. Mereka menyaksikan langsung bagaimana masyarakat adat menjaga hutan di tengah tekanan industri, serta komunitas pesisir yang terus kehilangan ruang hidup akibat abrasi, kenaikan muka laut, dan aktivitas PLTU di sekitar permukiman.

Kesadaran itulah yang mendorong solidaritas lintas komunitas. Fathan menyebut sejumlah inisiatif akar rumput seperti Asihkan Bumi di Sukabumi, KARBON di Cirebon, Lembaga Pers Mahasiswa Al Fikr di Paiton, hingga Formma di Mentawai.

Di Mentawai, Formma menolak izin baru Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), berangkat dari nilai masyarakat adat yang memandang hutan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Sementara Asihkan Bumi dan KARBON aktif mengkritisi kebijakan co-firing biomassa dengan mengolah data menjadi narasi yang mudah dipahami publik.

“Gerakan iklim di Indonesia tumbuh dari komunitas yang saling menopang,” ujar Fathan. “Ini adalah kerja kolektif lintas generasi.”

Ginanjar menutup dengan satu pesan kunci: kekuatan rakyat hanya bisa tumbuh jika terorganisir.

“Yang perlu dilakukan adalah memperluas, menghubungkan, dan memperdalam gerakan orang muda. Hanya masyarakat yang terorganisir yang bisa melawan uang yang juga terorganisir,” tegasnya dalam rilis yang diterima media ini, Kamis (18/12/2025).

Di tengah banjir yang berulang, hutan yang menyusut, dan rumah-rumah yang tenggelam, waktu kian menipis. Bagi generasi muda, menolak solusi palsu bukan sekadar kritik, melainkan tuntutan paling mendasar: hak untuk mewarisi bumi yang masih layak dihuni.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

News Terbaru