Loading
Ibadah doa ekumenis di Kapel SistinaIbadah doa ekumenis di Kapel Sistina (@Vatican Media)
Oleh: Uskup Agung Flavio Pace & Uskup Anthony Ball
EMPAT abad silam, dua ratu yang berbeda keyakinan kini beristirahat berdampingan di Westminster Abbey. Ratu Mary I, sang Katolik yang berjuang memulihkan supremasi Roma, dan Ratu Elizabeth I, sang Protestan yang meneguhkan Gereja Inggris. Di atas makam mereka terukir kalimat yang menggetarkan:
"Elizabeth dan Maria, saudari dalam harapan akan kebangkitan."
Sebuah pesan abadi tentang kerinduan akan persatuan—bahkan di tengah perbedaan paling dalam.
Selama berabad-abad, hubungan antara umat Katolik dan Anglikan tidak selalu hangat. Luka sejarah, darah para martir, dan jarak teologis sempat membuat kedua gereja berjalan di rel yang berbeda. Namun, sebagaimana prasasti di makam dua ratu itu, harapan tak pernah benar-benar padam.
Selalu ada tangan-tangan yang mencoba menjembatani jurang, dari perbincangan para teolog di abad ke-20 hingga dialog intens di zaman modern.
Dari Dinding Westminster ke Jantung Roma
Titik balik hubungan kedua gereja ini bermula saat Raja Edward VII secara pribadi menemui Paus Leo XIII pada 1903—sebuah langkah yang saat itu dinilai berani. Baru pada 1960, Uskup Agung Canterbury, Geoffrey Fisher, secara resmi mengunjungi Paus Yohanes XXIII. Pertemuan itu bahkan dilakukan tanpa liputan foto, saking sensitifnya. Namun, sejak itulah pintu dialog terbuka.
Kunjungan resmi Ratu Elizabeth II ke Paus Yohanes XXIII pada 1961 menandai sejarah baru: untuk pertama kalinya sejak Reformasi, seorang raja Inggris berdiri di hadapan Takhta Suci. Setelah itu, hubungan semakin hangat. Ratu Elizabeth menjalin pertemuan dengan Paus Yohanes Paulus II dan Fransiskus, bahkan menerima dua Paus dalam kunjungan ke Inggris—sebuah simbol saling menghormati lintas keyakinan.
Jalan Dialog dan Persaudaraan
Gereja Katolik dan Gereja Inggris kini tidak lagi saling menutup diri. Konsili Vatikan II menempatkan Persekutuan Anglikan pada posisi istimewa di antara gereja-gereja yang terpisah dari Roma. Sejak pertemuan Paus Paulus VI dan Uskup Agung Michael Ramsey pada 1966, kerja sama lintas iman ini makin nyata. Lahirnya Komisi Internasional Anglikan-Katolik Roma (ARCIC) menjadi tonggak penting: selama lima dekade, empat belas dokumen teologis telah diterbitkan untuk memperdalam pemahaman dan mengikis sekat lama.
Namun, yang paling menyentuh bukan sekadar dokumen, melainkan gestur kemanusiaan. Saat Raja Charles III berdoa bersama Paus Fransiskus di Basilika Santo Paulus di luar Tembok—dan bahkan di Kapel Sistina—itu bukan hanya pertemuan dua pemimpin dunia, melainkan pertemuan dua hati yang merindukan penyatuan kasih Kristus.
Sebuah Langkah Kecil yang Bermakna Besar
Kunjungan Raja Charles ke Vatikan menjadi lebih dari sekadar agenda kenegaraan. Dengan restu Paus, ia diterima sebagai konfrater kerajaan di Basilika Santo Paulus. Kursi baru yang dibuat khusus untuknya di basilika itu kini menjadi simbol keramahtamahan, pengakuan, dan harapan. Sebuah tanda bahwa, meski berbeda jalan teologi, kedua tradisi ini telah menemukan kembali makna persaudaraan dalam iman.
Kehadiran para pemimpin Gereja Inggris dan Skotlandia dalam ibadah tersebut pun mempertegas pesan universal: bahwa dialog bukan sekadar diplomasi iman, melainkan bentuk kasih yang nyata.
Harapan yang Tak Pernah Padam
Memang, harapan akan “persekutuan sejati” yang diimpikan Paus Paulus VI belum sepenuhnya terwujud. Hambatan doktrinal masih ada, dan beberapa pihak kadang pesimis. Namun, sebagaimana ditegaskan Uskup Agung Justin Welby dan Paus Fransiskus pada 2016, “Kami belum menemukan solusi untuk semua perbedaan, tetapi kami tidak gentar.”
Karena persatuan bukanlah proyek yang selesai dalam satu generasi. Ia adalah perjalanan panjang yang menuntut kesabaran, kerendahan hati, dan keberanian untuk percaya pada karya Roh Kudus di antara manusia. Kehangatan sambutan di Vatikan hari ini memperbarui keyakinan bahwa persaudaraan sejati selalu mungkin—asal kita tetap berjalan dalam cinta dan dialog.
Harapan itu, seperti yang diungkapkan Paus Leo XIII lebih dari seabad lalu, tetap sama: “Pembentukan kembali persekutuan yang penuh dan nyata.”
Uskup Agung Flavio Pace adalah Sekretaris Departemen untuk Memajukan Persatuan Kristen. Uskup Anthony Ball adalah Direktur Pusat Anglikan di Roma dan Perwakilan Uskup Agung Canterbury untuk Takhta Suci.
Sumber: Vatican News