Loading
Direktur Eksekutif PPM Manajemen, DR Bramantyo Djohanputro, MBA, CRMP, QIA. (Foto: Istimewa)
Oleh: DR Bramantyo Djohanputro, MBA, CRMP, QIA
BANYAK orang kuatir saat Rupiah melemah, sebagian lain kuatir pada saat Rupiah menguat, dan sebagian menggerutu pada saat Rupiah stabil. Tetapi kalau diajukan pertanyaan,”mana lebih penting, stabilitas nilai tukar atau peningkatan kesejahteraan?”, jawaban yang seharusnya adalah “Kesejahteraan lebih utama”. Lalu di mana koneksi dan diskoneksi nilai tukar dengan kesejahteraan?
Ukuran kesejahteraan yang umum digunakan adalah pendapatan seluruh penduduk suatu Negara. Salah satu ukurannya adalah PDB (Produk Domestik Bruto), pendapatan domestik produk. Formula PDB yang dihitung berdasarkan pengeluaran terdiri dari empat komponen: pengeluaran konsumsi, pengeluaran pemerintah, pengeluaran investasi, dan ekspor neto.
Baca juga:
Virus PHKSemakin tinggi nilai Rupiah tiap komponen tersebut maka PDB makin tinggi, yang artinya masyarakat makin sejahtera.
Pada dasarnya nilai tukar berpengaruh terhadap keempat komponen di atas. Tetapi yang lebih langsung hubungannya adalah ekspor neto, yaitu ekspor dikurangi impor. Makin tinggi ekspor dan makin kecil impor, kesejahteraan masyarakat makin tinggi.
Baca juga:
Nilai Tukar versus KesejahteraanChina dengan senang melemahkan mata uangnya untuk mendorong ekspor. Ini membuat Amerika marah dan meminta pemerintah China meningkatkan nila Yuan. Jepang juga sama. Yen dilemahkan. Hasilnya, ekspor meningkatkan. AKibatnya sama. Amerika berang. Menuntut Jepang mengapresiasi mata uang Yen terhadap USD. Seharusnya ekspor Jepang terhadap AS menurun. Untungnya, Jepang tidak hanya mengandalkan nilai tukar sebagai senjata bersaing. Tetapi juga produktivitas dan keunggulan bersaing lainnya. Maka, penguatan Yen tidak berdampak berarti terhadap nilai ekspor.
Kedua Negara tersebut kuat dalam hal ekspor. Makanya, pelemahan mata uang mereka merupakan kebahagiaan bagi para pebisnis karena jualan ekspor meningkat, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pembayaran impor. Alhasil, secara nasional pelemahan Yuan menguntungkan.
Baca juga:
Belanja Itu MemakmurkanSingapura memiliki sudut pandang yang lain. Struktur PDB mereka adalah: konsumsi rumah tangga sekitar 37 persen, pengeluaran pemerintah sekitar 12 persen, formasi investasi sekitar 25 persen, dan ekspor neto sekitar 26 persen. Dua angka penting. Konsumsi rumah tangga dan ekspor neto. Dengan ekspor neto positif sejak tahun 1990-an, Singapura menikmati pelemahan SID karena nilai ekspor menanjak lebih tajam dibandingkan nilai impor.
Tapi ada sisi lain. Pengeluaran konsumsi dalam struktur PDB Singapura. Porsi pengeluaran ini sebesar 37 persen. Paling tidak mengindikasikan bahwa masyarakat Singapura tidak terlalu rentan dengan gejolak nilai tukar. Buktinya, SID relatif stabil sejak tahun 1997 sampai saat ini. Sementara itu, IDR mengalami gejolak turun-naik luar biasa. Apalagi tahun 1998 sampai 2000.
Kembali ke Singapura, konsumsi masyarakat yang relatif rendah dan ekspor neto yang relatif tinggi dalam struktur ekonomi mengindikasikan bahsa ekspor-impor banyak dijalankan untuk memenuhi pasar asing. Banyak barang diimpor untuk diekspor. Sebagian besar barang jasa impor adalah untuk ekspor. Karena ekspor neto positif, maka masyarakat SIngapura semakin sejahtera.
Struktur PDB Indonesia berbeda dengan SIngapura. Pertama, tingginya komponen konsumsi. Pada awal tahun 2000-an, konsumsi rumah tangga berkontribusi di atas 60 persen dari total PDB. Persentase ini cenderung menurun. Dan saat ini sekitar 56 persen.
Komponen kedua, PMTB atau pembentukan modal tetap bruto. PMTB merupakan aset yang diharapkan produktif, bisa berupa pendirian perusahaan, menambah pabrik, membuka bandara, membangun pelabuhan, membangun jalan tol, dan sebagainya.
Pada tahun 2004 sampai 2008, angka ini sangat rendah. Artinya, peningkatan kapasitas produksi tidak terlalu berarti. PMTB mulai meningkat drastis pada tahun 2014. Sampai sekarang. Terutama kemauan pemerintah membangun infrastruktur, pembangkit tenaga listrik, bendungan dan waduk, dan berbagai investasi. Saat ini PMTB sekitar 33 persen dari PDB.
Sisanya adalah ekspor neto. Tentu saja, saat ekspor neto positif, transaksi ini meningkatkan PDB dan kesejahteraan. Tetapi saat negatif, PDB tergerus.
Persoalan dengan ekonomi Indonesia adalah ketergantungan yang tinggi pada impor, baik untuk konsumsi maupun investasi atau PMTB. Untuk konsumsi, banyak produk impor beredar di pasar. Atau paling tidak produk dengan kandungan impor yang tinggi. Dan kita susah membedakan mana produk impor atau dengan kandungan impor, dan mana yang merupakan produk asli domestik. Akibatnya, semakin tinggi konsumsi, semakin tinggi ketergantungan pada impor.
Demikian juga dengan investasi atau PMTB. Investasi mesin dan perlengkapannya, alat angkut dan perlengkapannya, sebagian besar adalah impor. Ini semua meningkatkan sensitifitas IDR terhadap USD. Semakin lemah IDR, semakin besar beban impor barang-barang tersebut.
Alhasil, melemahnya IDR cenderung berdampak negatif secara keseluruhan. Sekali lagi, karena ketergantungan pada impor yang tinggi, baik pada konsumsi, produksi, dan investasi.
Bagaimana mengatasinya. Berdasarkan bahasan di atas, pendekatan solusi jelas: kurangi, minimumkan, atau hilangkan ketergantungan pada impor. Untuk itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Hal pertama adalah periode, jangka pendek dan jangka panjang. Hal kedua adalah pihak, masyarakat dan pemerintah.
Untuk jangka pendek, masyarakat diharapakn mengurangi, bahkan berhenti membeli produk impor. Selama tidak mendesak dan urgen, tidak membelinya. Bisa Anda cek hal-hal yang ingin Anda beli, mulai dari makanan, pakaian, alat elektronik, asesoris, kendaraan, transportasi ke luar negeri. Untuk hal-hal yang sifatnya wajib, atau sudah membuat komitmen, susah dihilangkan, bisa diteruskan atau negosiasi ulang. Tetapi rencana belanja lainnya bisa dikurangi atau bahkan dihentikan.
Catatan penting: berhenti atau mengurangi belanja impor, tetapi Anda tetap perlu belanja. Caranya, membeli produk domestik. Manfaatnya ganda. Pertama, mengurangi aktivitas yang ikut menguras USD atau devisa Indonesia. Ini tentu mengurangi tekanan terhadap IDR. Kedua, belanja produk domestik berarti terus memutar ekonomi domestik. Usaha di Indonesia akan terus berputar. Jadi, jangan simpan (semu) uang. Belanjalah, dengan cermat.
Untuk jangka pendek pula, pemerintah bisa mengambil tindakan pengurangan dan penghentian belanja barang impor yang tidak mendesak. Kedua, membuat himbauan kepada masyarakat untuk tidak belanja produk impor tetapi belanja produk domestik. Ketiga, membuat sistem supaya belanja impor berkurang atau berhenti, dan belanja produk domestik meningkat, seperti tarif impor dan rantai pasokan produk domestik. Dampaknya mirip dengan saran tindakan jangka pendek untuk masyarakat. Berkurangnya tekanan IDR untuk melemah dan, pada saat yang sama, tetap mendorong perputaran ekonomi domestik.
Untuk jangka panjang, mesyarakat perlu membangun dua kebanggaan. Pertama, kebanggan produk dalam negeri. Sekarang momen yang tepat. Paling tidak sudah tampak merek-merek dengan nuansa lokal diterima masyarakat. Yang dulunya merek terkenal berarti bernada asing. Sekarang, bernada domestic, baik nama maupun kemasan. Kedua, kebanggaan sebagai produsen, bukan konsumen. Bangga bila bisa membuat produk yang inovatif, bukan bangga bila bisa membeli barang mahal dan bermerek.
Untuk jangka panjang, pemerintah telah mencanangkan Indonesia menjadi Negara produsen. Berarti siap-siap dengan kebijakan dan upaya substitusi impor. Dalam hal ini, tantangan terbesar ada dua. Pertama, memilih produk untuk dikembangkan sebagai substitusi. Mulai dari produk dasar sampai produk jadi. Dari produksi sampai logistik.
Kedua, membangun industri berorientasi ekspor. Seperti China, memproduksi barang berbasis sumber dalam negeri untuk ekspor. Membanjiri dunia. Atau seperti Singapura. Mengekspor barang yang diimpor. Atau mengekspor barang jadi dengan bahan baku atau bahan setengah jadi impor. Langkah ini membutuhkan infrastruktur yag kuat, yang sekarang sedang gencar dibangun. Membutuhkan investasi sektor industri. Juga investasi pada aset manusia. Meningkatkan indeks pembangunan manusia, atau HDI, human development index.
Masyarakat dan pemerintah perlu mulai dari upaya jangka pendek. Saat ini. Bersama-sama memutar ekonomi domestik, dengan belanja produk domestik. Hasilnya, ekonomi tetap berputar, kesejahteraan meningkat. Mata uang kembali stabil. Hasil yang diharapkan, semua senang memasuki tahun 2019.
Penulis adalah Direktur Eksekutif PPM Manajemen.