Loading
Prof Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI/Adjunct Professor Griffith University Brisbane Australia bertemu mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Griffith University maupun University of Queensland. (Foto: Dok. Pribadi)
Oleh: Prof. Tjandra Yoga Aditama–Direktur Pascasarjana Universitas YARSI/Adjunct Professor Griffith University, Brisbane, Australia
DIBALIK hijaunya kampus Griffith University di kawasan Nathan, Brisbane, Australia, tersimpan cerita kolaborasi ilmiah, bincang hangat bersama mahasiswa Indonesia, dan momen santai ditemani koala berkuku dua. Di sanalah saya menjalani serangkaian aktivitas yang merefleksikan semangat "One Health": kolaborasi lintas bidang antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
One Health dan Kesiapsiagaan Global
Kunjungan saya ke Griffith University kali ini diawali dengan pertemuan ilmiah untuk mempersiapkan International Symposium for One Health Research and Practice: From Collaboration to Action, yang akan diselenggarakan di Shenzhen, Tiongkok, pada akhir Juni mendatang. Sebagai anggota Komite Saintifik, saya melihat pentingnya membahas bagaimana dunia dapat bersatu menghadapi ancaman kesehatan lintas spesies dan lintas negara.
Kami juga membahas lonjakan kasus COVID-19 di beberapa negara, perkembangan uji klinik vaksin TB, serta disepakatinya Pandemic Convention oleh World Health Assembly (WHA). Hal-hal ini menunjukkan bahwa kolaborasi ilmu pengetahuan sangat dibutuhkan dalam menjaga kesehatan global.
Bertemu Mahasiswa Indonesia di Brisbane
Selain simposium, saya menyempatkan bertemu mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Griffith University maupun University of Queensland. Kami berdiskusi tentang banyak isu, termasuk perpindahan Indonesia dari WHO SEARO ke WPRO, serta tantangan pengendalian TB di tanah air.
Sebagai perbandingan, Australia mencatatkan hanya 5,5 kasus TB per 100.000 penduduk—salah satu yang terendah di dunia. Sementara di Indonesia, kasusnya masih lebih dari 300 per 100.000 penduduk, dengan target penurunan signifikan pada 2030 mendatang.
Di sela kegiatan, saya juga diwawancara RRI Pro 3 Jakarta mengenai flu burung yang tengah merebak di berbagai negara, termasuk Australia. Lonjakan ini bahkan memengaruhi ketersediaan telur di pasaran, seperti yang juga saya saksikan di New York awal bulan ini.
Dari Kafetaria Kampus hingga Kota Brisbane
Setelah diskusi hangat bersama para mahasiswa, kami menikmati makan siang di kafetaria kampus yang menyediakan pilihan halal dan vegetarian. Sebagai kenang-kenangan, saya mendapat tumbler dari Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Griffith University—suatu penghormatan yang sangat saya hargai.
Saya pun melanjutkan perjalanan menjelajahi Brisbane, termasuk mengunjungi Clock Tower di Balai Kota—bangunan bersejarah yang masih mempertahankan lift manual sejak 1930. Tidak jauh dari sana, saya juga naik ke Sky Deck di gedung modern “The Star”, yang menawarkan pemandangan kota dari ketinggian 100 meter secara gratis.
Koala, Kanguru, dan Transportasi 50 Sen
Tentu saja, kunjungan ke Australia belum lengkap tanpa melihat kanguru dan koala. Saya baru mengetahui bahwa koala memiliki dua ibu jari yang membuatnya dapat memeluk batang pohon dengan kuat meski sering tertidur.
Hal menarik lainnya dari Brisbane adalah banyaknya fasilitas publik gratis—seperti telepon umum dan akses ke tempat wisata ketinggian—serta tarif transportasi umum yang hanya 50 sen dolar Australia atau sekitar Rp 5.000.
Menuju Olimpiade 2032
Brisbane kini terus berbenah sebagai calon tuan rumah Olimpiade 2032. Kota ini mempercantik diri, tak hanya lewat infrastruktur, tapi juga keramahan warganya. Sebuah ekosistem yang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan persahabatan antarbangsa.
Dua jempol untuk koala, dan dua jempol juga untuk Brisbane.????????