Selasa, 30 Desember 2025

In Memoriam: Pelangi Cinta Budaya Mo‘at Oscar Pareira Mandalangi, Penjaga Warisan Adat Budaya Sikka


 In Memoriam: Pelangi Cinta Budaya Mo‘at Oscar Pareira Mandalangi, Penjaga Warisan Adat Budaya Sikka Oscar Pareira Mandalangi, budayawan dan penulis asal Sikka, wafat pada Selasa, 21 Oktober 2025. (Foto: Istimewa)

Oleh: Simply da Flores

NIAN Tana, Kabupaten Sikka, berduka. Angin dari Laut Flores seolah ikut berbisik lembut saat kabar duka itu tiba: Mo'at Oscar Pareira Mandalangi  telah berpulang di RSUD TC Hillers Maumere, Selasa dalam usia 87 tahun pada Selasa  21 Oktober 2025.

Ia bukan sekadar budayawan, penulis, dan seniman. Dalam diri Moat Oscar, menyatu cinta pada iman, adat, dan ilmu pengetahuan—tiga hal yang menjadi napas hidupnya.

Sang Penjaga Adat dan Penafsir Budaya

Lahir di Maumere pada 31 Maret 1938, Mo'at Oscar menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada dan lulus pada tahun 1964. Ia dikenal luas sebagai penafsir budaya Sikka yang tekun mendokumentasikan bahasa, ritual, dan simbol adat.

Namanya tercatat sebagai Editor dan Penerjemah buku monumental Hikayat Kerajaan Sikka (2008) bersama antropolog E. Douglas Lewis. Buku setebal 332 halaman itu menjadi jendela penting untuk memahami perjalanan panjang Kerajaan Sikka dan perjumpaannya dengan Gereja Katolik.

Kecintaannya terhadap budaya bukan sebatas kata. Ia menulis, meneliti, dan berdialog dengan banyak pihak—dari kampung-kampung di Sikka hingga lembaga akademik di luar negeri. Dalam setiap langkahnya, ia menanamkan keyakinan: bahwa adat dan budaya adalah jiwa dari manusia Sikka.

Keberanian dan Kepercayaan Diri yang Lahir dari Cinta

Bagi banyak orang yang mengenalnya, Mo'at Oscar adalah sosok berani dan percaya diri. Ia tak sekadar berbicara tentang budaya—ia menghidupinya.Dalam masa ketika literasi adat nyaris terpinggirkan, ia justru menulis dengan mesin ketik tua, mengarsipkan pengetahuan lokal, dan menularkan semangat cinta budaya kepada siapa pun yang ditemuinya.

Ia juga terlibat dalam penelitian besar tentang tradisi Green Mahe di Waiblama–Tana Ai, bersama Douglas Lewis yang kelak meraih gelar doktor Antropologi di Australia.

Bagi Mo'at Oscar, kolaborasi itu bukan hanya kerja akademik, melainkan bentuk pelayanan untuk menjaga warisan leluhur agar tidak hilang ditelan zaman.

Iman yang Menyatu dengan Seni

Selain budayawan, Mo'at Oscar juga dikenal sebagai pendoa dan organis gereja. Ia menggubah lagu-lagu liturgi khas Sikka yang masih dinyanyikan hingga kini.

Salah satu karya terkenalnya adalah “Salam Bunda Perawan”, yang diadaptasi menjadi “Salam Bapa Suci” saat kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Maumere pada 1989.

Dengan akordeon buatan Jerman yang dibelinya semasa kuliah di Yogyakarta, ia memainkan lagu itu dalam misa akbar, menghadirkan harmoni antara iman dan budaya lokal.

Teladan yang Tak Lekang oleh Zaman

Kini, di tengah dunia digital yang serba cepat, warisan Mo'at Oscar terasa kian berharga. Ia menulis dan berkarya bukan untuk mengejar popularitas, melainkan untuk menjaga roh budaya agar tetap hidup di hati generasi berikutnya.

Pertanyaan yang pernah ia lontarkan kini menjadi tantangan bagi kita semua: “Apakah generasi muda masih mau menulis dan berkarya tentang adat budaya lokalnya sendiri?”

Di tengah derasnya arus konten global, pesan itu menggema seperti doa. Semoga semangatnya menginspirasi lahirnya kembali penulis, seniman, dan budayawan muda yang mencintai akar budayanya sendiri.

Sebuah Perpisahan yang Indah

Mo'at Oscar, tabe mole epan gawan.Atas segala teladan dan pelangi cintamu untuk Nian Tana Sikka, kami mengucap terima kasih.

Ma sai Mo'at, tahi blinon – lalan woer, loning Nian bete mate – Tana herong potat.Semoga jiwamu beristirahat dalam damai kasih Tuhan.

Dan semoga generasi setelahmu terus menyalakan obor cinta budaya yang telah engkau nyalakan dengan setia. Requiescat in pace!

Penulis adalah Direktur Harmoni Institut & Yayasan Daan Dadin.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Feature Terbaru