Loading
Konferensi internasional Daring Peace yang digagas oleh Komunitas Sant Egidio di Roma. (Foto: santegidio.org)
GLOBAL HARMONY | INTER FIDEI
ROMA, ITALIA, ARAHKITA.COM - Enam puluh tahun sudah berlalu sejak deklarasi Nostra Aetate diterbitkan oleh Konsili Vatikan II — sebuah dokumen bersejarah yang membuka jalan bagi dialog antara Gereja Katolik dan agama-agama non-Kristen. Namun hingga kini, semangat yang lahir dari teks singkat itu masih terasa hidup, menjadi sumber inspirasi bagi upaya mewujudkan perdamaian lintas iman di dunia yang terus berubah.
Peringatan 60 tahun Nostra Aetate menjadi tema utama dalam konferensi internasional bertajuk “Daring Peace”, yang digelar oleh Komunitas Sant’Egidio di Roma.
Forum ini mengajak pemimpin lintas agama, akademisi, dan tokoh masyarakat untuk merenungkan kembali warisan spiritual dokumen tersebut sekaligus menegaskan pentingnya “globalisasi spiritual” — istilah yang diangkat oleh pendirinya, Andrea Riccardi, untuk menggambarkan arus bawah sejarah yang selalu bergerak menuju persatuan.
“Meskipun permukaan lautan sejarah seringkali bergolak, arus bawah yang dalam tetap mengalir ke arah persatuan,” ujar sejarawan Belgia Jan De Volder dari Universitas Leuven.
Ia mengutip Giorgio La Pira, mantan Wali Kota Firenze, yang pernah berbicara tentang “ketegangan yang menyatukan” setelah Perang Dunia Kedua — ketegangan yang justru mendorong umat manusia mencari jalan damai.
Presiden Yayasan La Pira, Patrizia Giunti, menambahkan bahwa tata bahasa perdamaian dunia modern tak bisa dilepaskan dari semangat Nostra Aetate.
“Masa itu mengajarkan kita untuk melihat cakrawala persaudaraan sebagai sesuatu yang mungkin diwujudkan — dengan landasan etis yang kuat dan universal,” katanya.
Spirit Fransiskan dan Pilihan Profetik
Dalam pandangan Uskup Agung Assisi, Domenico Sorrentino, semangat Nostra Aetate menemukan bentuk paling konkret dalam gaya hidup Santo Fransiskus dari Assisi — rendah hati, terbuka, dan penuh kasih.
“Gaya pewartaan yang lahir dari kerendahan hati inilah yang membuka ruang bagi dialog sejati,” ujarnya.
Ketika Paus Yohanes Paulus II mengundang pemimpin lintas agama ke Assisi pada tahun 1986, lanjut Sorrentino, langkah itu bukan sekadar simbol, melainkan tindakan profetik.
Ia “memberi warna Fransiskan pada penerjemahan Nostra Aetate dalam konteks persaudaraan dan cara baru Kekristenan memandang agama-agama lain.”
Dari Yahudi hingga Muslim: Tantangan Lama, Harapan Baru
Enam dekade kemudian, semangat Nostra Aetate masih diuji oleh munculnya kembali berbagai prasangka lama.
Jean Dominique Durand, Presiden Asosiasi Persahabatan Yahudi–Kristen Prancis, mengingatkan akan “kembalinya banyak prasangka anti-Semit” yang kini bersembunyi di balik retorika anti-Zionis.
“Ini bukan hal baru — hanya wajah lama dalam bentuk yang berbeda,” ujarnya, mengutip sejarawan Georges Bensoussan yang menyebut bahwa tuduhan genosida kini menggantikan tuduhan deicide (pembunuhan terhadap Tuhan), dengan dampak sosial yang sama buruknya.
Namun di tengah tantangan itu, ada pula harapan baru.
Rabbi Noam Marans, Direktur Urusan Antaragama di Komite Yahudi Amerika (AJC), mengakui bahwa hubungan Katolik–Yahudi masih penuh dinamika, tetapi menunjukkan kemajuan nyata.
“Saya terharu ketika Paus Fransiskus, bahkan di awal masa kepausannya, menulis langsung kepada saya dan para pemimpin Yahudi lainnya dengan semangat keterbukaan yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ungkapnya dilansir dari laman santegidio.org
Menuju Globalisasi Spiritual
Enam puluh tahun setelah Nostra Aetate, dunia masih bergulat dengan perang, polarisasi, dan kebencian berbasis agama. Namun, seperti dikatakan Andrea Riccardi, “masih banyak sejarah yang harus ditulis.”
Dialog lintas iman bukan sekadar utopia, melainkan pekerjaan panjang yang menuntut kesabaran, empati, dan keyakinan bahwa perdamaian bisa — dan harus — terus diupayakan.
Dalam ketegangan dunia modern, semangat “globalisasi spiritual” menjadi jembatan — bukan tembok — di antara perbedaan.