Loading
Salah satu produk sayuran hasil budidaya pemuda di Lumajang, Jawa Timur. ANTARA/HO-Diskominfo Lumajang
LUMAJANG, ARAHKITA.COM — Gerakan ekonomi hijau kini mulai tumbuh dari dapur Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Di Lumajang, Jawa Timur, sejumlah anak muda kreatif berhasil mengubah limbah makanan menjadi sumber ekonomi baru yang ramah lingkungan.
Salah satunya adalah Asriafi Ath Thoriq, penerima penghargaan Kalpataru dan Lencana Inovasi Desa dari Kementerian Desa. Ia melihat limbah makanan MBG bukan sekadar sisa dapur, melainkan potensi untuk membangun ekosistem ekonomi sirkuler di tingkat desa.
“Limbah makanan seharusnya dipandang sebagai modal, bukan masalah. Dengan kreativitas dan bimbingan, kita bisa menciptakan produk ramah lingkungan sekaligus meningkatkan ekonomi lokal,” ujar Asriafi di Jakarta, Jumat (10/10/2025).
Baca juga:
Menaker Yassierli: Transisi Ekonomi Hijau Jadi Momentum Transformasi Dunia Kerja IndonesiaDari bahan sisa itu, Asriafi mengolah eco enzyme — cairan hasil fermentasi limbah makanan yang bisa digunakan sebagai disinfektan, sabun alami, pupuk cair, hingga bahan pakan ternak. Produk ini tidak hanya mengurangi sampah, tetapi juga memberi nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Inovasi serupa juga datang dari Dzaki Fahruddin, petani muda asal Kecamatan Yosowilangun, Lumajang. Ia mengumpulkan sisa makanan dapur MBG untuk dijadikan eco enzyme dan pupuk cair yang menyuburkan lahan pertaniannya.
“Prosesnya sederhana. Limbah makanan dicacah, dicampur gula merah dan air, lalu difermentasi selama tiga bulan,” jelas Dzaki.
Hasilnya, tanaman tumbuh lebih subur dengan biaya pupuk jauh lebih hemat. Kini, banyak petani di wilayahnya yang ikut mengolah limbah MBG menjadi pupuk organik karena terbukti ramah lingkungan dan efisien.
Menurut Dzaki, inovasi ini tidak hanya menyelamatkan bumi dari timbunan sampah, tetapi juga menumbuhkan jiwa wirausaha hijau di kalangan pemuda desa.
Dukungan dari Pemerintah dan Kementerian LH
Gerakan pemanfaatan limbah MBG ini mendapat perhatian dari berbagai pihak, termasuk Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Gizi Nasional (BGN), Khairul Hidayati. Ia menilai bahwa langkah para pemuda Lumajang mencerminkan praktik nyata ekonomi sirkuler di sektor pangan dan gizi.
“Apa yang dilakukan para pemuda di Lumajang membuktikan bahwa program MBG tidak berhenti di dapur. Ada nilai tambah ekonomi, edukasi, dan manfaat lingkungan yang nyata bagi masyarakat sekitar,” ujar Hida.
Dukungan juga datang dari Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq, yang mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat pengelolaan limbah dan sampah dari pelaksanaan program MBG.
Dalam kunjungannya ke Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Batu Aji di Batam, Kepulauan Riau, Hanif menegaskan pentingnya pengelolaan limbah agar program MBG tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
“Sisa makanan harus ditangani dengan baik, begitu juga limbah dari proses produksi agar tidak berdampak pada lingkungan,” kata Hanif.
Ia menekankan bahwa produksi ribuan paket makanan setiap hari berpotensi menimbulkan residu, sehingga pengelolaan limbah harus menjadi prioritas.
Hanif juga mengapresiasi capaian SPPG Batam yang telah menjangkau lebih dari 50 persen wilayah sasaran, sambil mengingatkan agar pengawasan lingkungan terus diperkuat.
Ekonomi Hijau dari Desa untuk Negeri
Inovasi para pemuda Lumajang menunjukkan bahwa ekonomi hijau tidak harus dimulai dari kota besar. Dengan kreativitas dan dukungan kebijakan yang tepat, desa bisa menjadi pusat inovasi ramah lingkungan.
Melalui pengolahan limbah MBG, mereka tidak hanya membantu menjaga lingkungan, tetapi juga menciptakan nilai ekonomi baru — sebuah langkah nyata menuju Indonesia yang lebih hijau, mandiri, dan berkelanjutan.