Selasa, 30 Desember 2025

Draf NDC 3.0 Dinilai Gagal Menjawab Krisis Iklim: IESR Desak Target Emisi Lebih Ambisius


 Draf NDC 3.0 Dinilai Gagal Menjawab Krisis Iklim: IESR Desak Target Emisi Lebih Ambisius IESR mendesak agar NDC 3.0 segera diserahkan kepada UNFCCC sebelum Konferensi Para Pihak (COP) ke-30 pada November 2025. (Foto: Dok. IESR)

JAKARTA, ARAHKITA.COM – Cuaca ekstrem dan suhu panas yang belakangan melanda berbagai wilayah Indonesia bukan sekadar fenomena musiman. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer telah memperburuk situasi, membuat dampak krisis iklim semakin nyata.

Menanggapi hal ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) meminta pemerintah Indonesia agar lebih berani menetapkan target pengurangan emisi yang ambisius dalam rancangan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) 3.0. Langkah ini penting untuk menunjukkan komitmen Indonesia terhadap upaya global mencegah bencana iklim.

Target Belum Sejalan dengan Perjanjian Paris

IESR mendesak agar NDC 3.0 segera diserahkan kepada UNFCCC sebelum Konferensi Para Pihak (COP) ke-30 pada November 2025. Dokumen ini menjadi simbol kepemimpinan Indonesia di panggung global, melanjutkan peran penting yang telah dimulai sejak era Presiden SBY.

Meski terdapat beberapa perbaikan—seperti peningkatan target emisi dibandingkan Enhanced NDC (ENDC), acuan baru dari level emisi 2019, dan perluasan sektor GRK seperti hidrofluorokarbon (HFC) serta subsektor migas hulu dan laut—IESR menilai target tersebut masih belum selaras dengan tujuan Perjanjian Paris.

Menurut Fabby Tumiwa, CEO IESR, target bersyarat maupun tak bersyarat yang ditetapkan pemerintah belum sejalan dengan upaya menahan kenaikan suhu global di bawah 2°C. “Bahkan, target tak bersyarat masih memungkinkan peningkatan emisi hingga pertengahan abad,” ujarnya.

Fabby menilai, jika langkah nyata baru dilakukan setelah 2035, Indonesia akan menghadapi risiko ekonomi besar dan kehilangan peluang menuju Indonesia Emas 2045 yang membutuhkan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5% per tahun.

Energi Terbarukan Jadi Kunci

IESR menekankan bahwa puncak emisi seharusnya dicapai lebih cepat, yakni tahun 2030, bukan 2035 seperti proyeksi pemerintah. Caranya? Dengan mempercepat pensiun dini PLTU batu bara dan memperluas pembangunan energi terbarukan.

Fabby mencontohkan, “Pemerintah bisa membangun 100 gigawatt (GW) PLTS dalam lima tahun serta mengganti 3,4 GW PLTD yang masih beroperasi di berbagai daerah.”

Analisis Climate Action Tracker (CAT)—yang juga diikuti IESR—menunjukkan bahwa untuk sejalan dengan jalur 1,5°C, emisi GRK Indonesia harus ditekan menjadi 850 juta ton setara CO₂ pada 2030 dan 720 juta ton pada 2035, di luar kontribusi sektor lahan dan kehutanan (FOLU).

Empat Langkah Strategis Menuju Emisi Rendah

IESR merekomendasikan empat langkah utama untuk memperkuat NDC 3.0:

  1. Pensiun dini PLTU dan PLTD beremisi tinggi secara bertahap hingga 2035, disertai pembangunan energi terbarukan minimal 100 GW.
  2. Reformasi subsidi energi fosil agar mendorong efisiensi dan mengurangi ketergantungan impor bahan bakar.
  3. Percepatan efisiensi energi lewat sertifikasi, standarisasi, dan akses pendanaan bagi sektor industri serta bangunan.
  4. Tindak lanjut Global Methane Pledge, dengan menekan emisi metana sebesar 30% pada 2030, sesuai komitmen Presiden Joko Widodo.

Perpres 110/2025: Harapan Baru, Tantangan Juga Ada

Di tengah penantian NDC 3.0, pemerintah telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 110 Tahun 2025 tentang Instrumen Nilai Karbon dan Pengendalian Emisi GRK Nasional. Kebijakan ini diharapkan bisa memperkuat tata kelola pasar karbon di Indonesia dengan sistem yang transparan dan kredibel.

Namun, IESR mengingatkan pentingnya mekanisme pengawasan agar pasar karbon tidak menjadi ajang spekulasi atau penipuan. Sistem yang kuat dan transparan diyakini bisa meningkatkan kepercayaan publik dan investor, serta memastikan keberlanjutan ekonomi hijau Indonesia.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Green Economy Insight Terbaru