Loading
Tommy Tjiptadjaja bersama sesama rekan inovatornya Sugianto Tandio memilih banting setir ke arah bisnis berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan. ANTARA/HO-Greenhope
DI RUANG kerjanya yang sederhana, Tommy Tjiptadjaja berbicara dengan tenang namun penuh makna. Tumpukan laporan riset dan sampel plastik ramah lingkungan di meja kerjanya menjadi saksi semangat seorang idealis yang percaya bahwa bisnis sejati bukan sekadar mengejar keuntungan.
“Profit itu hanya konsekuensi,” katanya. “Yang utama adalah nilai yang kita ciptakan bagi manusia dan lingkungan.”
Kalimat itu bukan jargon pemasaran, melainkan prinsip hidup yang menuntun langkahnya. Setelah bertahun-tahun berkarier di perusahaan global seperti McKinsey & Company, The Boston Consulting Group, dan Sampoerna Strategic, Tommy merasa ada yang hilang. Dunia korporasi memberinya prestise dan kestabilan finansial, tapi tidak memberi kedamaian batin.
Setiap kali membaca laporan pertumbuhan ekonomi, ia teringat pada sisi lain yang jarang dihitung: hutan yang hilang, limbah yang menumpuk, dan air yang tercemar.
“Saya sadar, model bisnis yang hanya mengejar pertumbuhan tanpa memikirkan dampak lingkungan, cepat atau lambat akan runtuh,” ujarnya. “Saya tidak ingin jadi bagian dari sistem itu.”
Baca juga:
UE Sepakati Target Iklim 2040: Pangkas Emisi hingga 90 Persen, Babak Baru Ekonomi Hijau EropaLahirnya Greenhope: Inovasi untuk Bumi
Dari kegelisahan itu, Tommy bersama rekannya, Sugianto Tandio, mendirikan Greenhope—perusahaan teknologi sosial yang mengembangkan solusi ramah lingkungan. Dari laboratorium kecil mereka lahirlah Ecoplas, bioplastik berbasis singkong, dan Oxium, katalis biodegradable yang membantu plastik konvensional terurai lebih cepat tanpa meninggalkan mikroplastik.
Kini, inovasi Greenhope telah digunakan di lebih dari delapan negara di Asia dan Afrika. Namun bagi Tommy, capaian itu bukan soal ekspansi bisnis, melainkan tanda bahwa dunia memang butuh solusi nyata terhadap krisis plastik.
Mengubah Dunia dari Hal-Hal Kecil
Tommy tidak pernah menampilkan keberhasilannya dengan nada heroik. Ia justru menekankan pentingnya memperbaiki hal kecil secara konsisten. “Perubahan besar lahir dari kesabaran memperbaiki hal-hal kecil setiap hari,” ujarnya.
Sebagai lulusan teknik elektro yang memulai karier sebagai programmer, Tommy terbiasa berpikir sistematis. Namun di balik pendekatan teknis itu, ia menumbuhkan empati sosial yang dalam. Setiap kali berbicara tentang sampah plastik, ia tidak hanya melihat data, tetapi juga wajah para pemulung, petani singkong, dan anak-anak yang tumbuh di lingkungan tercemar.
“Mereka semua bagian dari sistem yang kita bentuk,” katanya. “Dan sistem itu bisa diubah kalau kita mau,”ungkapnya dikutip dari Antara.
Nilai, Bukan Sekadar Angka
Membangun bisnis berkelanjutan di tengah ekosistem yang masih menilai sukses dari laba tentu tidak mudah. “Kami sering dianggap aneh,” ujarnya tersenyum. “Tapi perubahan besar memang selalu dimulai dari ketidakwajaran.”
Di Greenhope, ia menanamkan satu kata kunci: meaning — makna. Ia percaya setiap orang, di balik profesinya, sedang mencari arti hidup yang lebih dalam. Dan bagi Tommy, makna itu tumbuh setiap kali sebuah kantong plastik Greenhope terurai tanpa meninggalkan jejak bagi bumi.
Nilai spiritual menjadi kompas dalam setiap keputusan bisnisnya. “Kalau kita tahu untuk apa kita hidup, keputusan jadi lebih ringan,” katanya. “Kita tidak mudah tergoda oleh keuntungan sesaat.”
Menanam Nilai untuk Generasi Mendatang
Sebagai ayah dari tiga anak perempuan, Tommy mengaitkan visinya pada masa depan keluarga. “Saya ingin anak-anak saya nanti masih bisa melihat laut biru, udara bersih, dan hutan hijau,” ucapnya. “Kalau tidak, untuk apa semua pencapaian ini?”
Dalam berbagai forum global seperti World Economic Forum, ia lebih suka berbagi pengalaman nyata ketimbang jargon bisnis. Ia bercerita bagaimana riset dilakukan bersama petani lokal, menghadapi birokrasi, hingga mengedukasi masyarakat agar memahami perbedaan antara plastik yang bisa didaur ulang, bisa terurai, dan yang hanya diklaim ramah lingkungan.
Membangun Generasi Pemimpin Berjiwa Sosial
Tommy percaya bahwa masa depan bisnis Indonesia ada di tangan anak muda. “Mereka penuh ide dan energi, tapi sering kekurangan teladan,” katanya. Karena itu, ia berusaha menjadi mentor yang berbagi pengalaman—termasuk kegagalan.
Ia menegaskan bahwa teknologi bukan musuh, tapi harus dijalankan dengan empati. “Inovasi tanpa empati akan kehilangan arah,” ujarnya. “Kita sedang berhutang pada alam, dan hutang itu harus dibayar dengan cara bekerja lebih bijak.”
Sukses yang Menyembuhkan Dunia
Setelah lebih dari satu dekade menjalankan misi keberlanjutan, Tommy tetap merasa dirinya masih belajar. Ia berdialog dengan ilmuwan, komunitas akar rumput, dan regulator untuk mencari keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan. “Kalau salah satu diabaikan,” ujarnya, “peradaban akan pincang.”
Greenhope bagi Tommy bukan sekadar perusahaan, tapi wadah pembelajaran untuk mengubah definisi sukses — bukan lagi who wins the market, tapi who heals the world.
Dari ruang kerja sederhananya, Tommy menulis bab baru tentang kapitalisme yang berjiwa — bahwa bisnis sejati bukan hanya menghasilkan uang, tetapi juga memberi kehidupan.