Loading
Dua saksi penting: Aliyoga Setiawan, yang telah dua kali tidak hadir, dan Kahar, yang kembali mangkir pada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara,Kamis, 24 Juli 2025. (Foto: Istimewa)
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Proses hukum yang menyeret nama Fredie Tan, seorang pengusaha yang diduga terlibat dalam sejumlah kasus korupsi, kembali menjadi sorotan. Dua saksi yang sebelumnya dijadwalkan hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, justru mangkir tanpa keterangan, menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas dan kelanjutan perkara ini.
Penggiat anti-korupsi dari KOMPAK Indonesia, Gabriel Goa, menyoroti absennya dua saksi penting: Aliyoga Setiawan, yang telah dua kali tidak hadir, dan Kahar, yang kembali mangkir pada sidang Kamis, 24 Juli 2025. Keduanya merupakan rekan dekat Fredie Tan dan menjadi saksi dalam perkara dugaan pencemaran nama baik serta pelanggaran UU ITE terhadap whistleblower Hendra Lie (HL).
"Ketidakhadiran mereka mencurigakan. Sebagai warga negara, apalagi dalam posisi saksi, seharusnya mereka hadir dan memberikan keterangan. Ini memperkuat dugaan bahwa laporan pencemaran nama baik dan UU ITE hanya upaya balasan terhadap pelapor korupsi," ujar Gabriel.
Saksi Pelapor Tidak Menguasai Substansi Laporan
Hal yang tak kalah mengherankan adalah kesaksian Fredie Tan sendiri pada persidangan 17 Juli 2025 lalu. Dalam keterangannya, ia lebih banyak menjawab "tidak tahu" atau "tidak ingat" atas materi yang dilaporkannya sendiri. Sikap ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin pelapor tidak memahami substansi laporan yang ia ajukan?
Akademisi Prof. Supardji Akmad pun angkat suara. Ia menekankan pentingnya perlindungan terhadap whistleblower seperti Hendra Lie agar proses hukum tidak dicemari oleh kepentingan non-hukum.
“Peniup peluit wajib dilindungi agar hukum tetap ditegakkan secara objektif. Integritas para penegak hukum juga dipertaruhkan di sini,” ujar Prof. Supardji dalam rilis yang diterima media ini, Jumat (25/7/2025).
Podcast yang Dipermasalahkan Justru Berdasar Data
Dalam sidang yang sama, hadir pula Rudi S. Kamri, pemilik podcast Kanal Anak Bangsa—media tempat HL menyuarakan dugaan korupsi. Rudi menegaskan bahwa semua pernyataan HL dalam podcast tersebut didukung oleh data dan dokumen yang valid, bukan hoaks. Oleh karena itu, penayangan konten tersebut dinilai sah dan bertanggung jawab.
Masalah hukum ini bermula dari laporan HL kepada Ombudsman RI atas dugaan maladministrasi dalam kerja sama antara PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (BUMD milik Pemprov DKI Jakarta) dan perusahaan swasta PT Wahana Agung Indonesia Propertindo (PT WAIP). Laporan HL dibuktikan lewat Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman No. 0173/LM/IV/2020/JKR tertanggal 20 Mei 2020, yang menyarankan evaluasi terhadap kerja sama tersebut.
Dugaan Korupsi yang Lebih Besar
Bukan hanya satu kasus, HL juga mengungkap adanya praktik merugikan masyarakat dalam kerja sama antara PD Pasar Jaya dan perusahaan milik Fredie Tan, PT Graha Agung Karya Utama. Perusahaan tersebut diduga mengambil keuntungan besar dari harga sewa pasar HWI/Lindeteves, namun membayar dengan harga rendah kepada PD Pasar Jaya. Hal ini menyebabkan kerugian besar bagi pedagang dan dinyatakan sebagai bentuk maladministrasi oleh Ombudsman RI dalam rekomendasi tahun 2014.
Selain itu, HL menyebut bahwa Fredie Tan sempat ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pada 2014, namun dibebaskan oleh Kejaksaan Agung tanpa penjelasan rinci. Ia juga diduga terlibat dalam kerja sama dengan BUMD lain seperti PT Jakarta Propertindo, yang berpotensi merugikan negara hingga belasan triliun rupiah.
Whistleblower Justru Diadili
Ironisnya, alih-alih penyelidikan terhadap dugaan korupsi, justru HL sebagai whistleblower yang kini diadili karena pernyataannya dalam podcast. HL mengaku telah melaporkan kasus ini tidak hanya ke Ombudsman, tetapi juga ke KPK, Komisi Kejaksaan, LPSK, Gubernur DKI Jakarta, Mendagri, hingga Menkopolhukam.
Ahli hukum komunikasi Prof. Hendri Subiakto dari Universitas Airlangga bahkan menilai kasus ini dipaksakan sejak awal. Ia mencatat kejanggalan proses hukum seperti tujuh kali penerbitan Sprindik (Surat Perintah Penyidikan), lima SPDP, dan bolak-baliknya perkara antara Bareskrim Polri dan Jaksa Penuntut Umum—yang bertentangan dengan prinsip Mahkumjakpol 2010.
HL berharap sistem hukum Indonesia tetap berpihak pada keadilan. “Saya hanya menyuarakan dugaan korupsi berdasarkan data yang sah. Jika whistleblower dikriminalisasi, bagaimana masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini?”