Loading
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo memeriksa berkas saat memimpin sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (23/6/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/YU)
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Praktik rangkap jabatan Wakil Menteri (Wamen) sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah menjadi sorotan hukum nasional. Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi mulai memproses permohonan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang yang dinilai membuka celah praktik tersebut.
Sidang perdana perkara bernomor 118/PUU-XXIII/2025 digelar MK pada Kamis (31/7/2025) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Hadir sebagai pemohon adalah aktivis hukum A. Fahrur Rozi secara langsung di ruang sidang MK, serta Ilhan Fariduz Zaman, pendiri Pinter Hukum, yang mengikuti persidangan secara daring.
Gugatan Terkait UU Kementerian Negara dan UU BUMN
Keduanya mengajukan uji materi terhadap tiga pasal:
Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
Pasal 27B dan Pasal 56B UU Nomor 1 Tahun 2025 (Perubahan Ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN)
Menurut pemohon, ketentuan yang ada saat ini tidak secara tegas melarang rangkap jabatan oleh wakil menteri. Fahrur Rozi menyatakan bahwa setidaknya terdapat 30 wakil menteri yang juga menjabat sebagai komisaris BUMN, dan hal ini menimbulkan kekhawatiran akan benturan kepentingan.
“Pasal 23 tidak mencantumkan secara eksplisit frasa wakil menteri. Sementara dua pasal dalam UU BUMN juga tidak memberikan kualifikasi tegas mengenai jabatan apa saja yang dilarang untuk dirangkap,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Permintaan Penegasan dalam Pasal
Pasal 23 UU Kementerian Negara selama ini hanya melarang menteri merangkap jabatan sebagai:
Pejabat negara lainnya
Komisaris atau direksi BUMN/swasta
Pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN/APBD
Ketentuan itu dinilai diskriminatif dan tidak memberikan kepastian hukum terhadap posisi wakil menteri. Pemohon menilai perlu ada interpretasi leksikal yang menambahkan frasa wakil menteri secara eksplisit agar norma ini adil dan setara.
Mereka juga merujuk pada Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa larangan jabatan ganda bagi menteri berlaku pula bagi wakil menteri, karena keduanya merupakan pejabat yang diangkat dan diberhentikan langsung oleh Presiden.
Kekosongan Norma dalam UU BUMN
Pemohon juga menyoroti Pasal 27B dan Pasal 56B UU BUMN yang mengatur larangan rangkap jabatan bagi dewan komisaris dan dewan pengawas. Menurut mereka, aturan tersebut masih longgar dibandingkan dengan larangan tegas bagi dewan direksi dalam Pasal 15B dan 43D UU BUMN.
Saat ini, dewan pengawas dan komisaris BUMN tidak dilarang untuk:
Merangkap jabatan di kementerian/lembaga negara
Menjadi pengurus partai politik atau calon legislatif
Menjabat sebagai kepala/wakil kepala daerah
Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan dinilai bertentangan dengan prinsip good corporate governance serta asas kepastian hukum yang adil.
Masukan dari Hakim Konstitusi
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan saran agar para pemohon dapat memperjelas titik pertentangan antara norma pasal dan konstitusi, khususnya terkait jaminan atas kepastian hukum.
"Saudara harus membangun argumentasi sendiri. Jika perlu, buatlah perbandingan dengan negara lain yang juga menganut sistem presidensial,” ujar Enny dikutip Antara.
Ia juga menambahkan bahwa permohonan terhadap pasal-pasal dalam UU BUMN masih dalam proses uji formil di MK, sehingga belum dapat banyak dikomentari lebih lanjut.