Loading
Ilustrasi: Logo SETARA Institute. (Net)
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Ledakan yang terjadi di Masjid SMAN 72 Jakarta pada Jumat (7/11) bukan sekadar insiden biasa. Peristiwa yang melukai puluhan orang itu disebut SETARA Institute sebagai bentuk nyata dari ekstremisme berbasis kekerasan, sekaligus menjadi peringatan serius bagi Indonesia yang selama tiga tahun terakhir menikmati situasi zero terrorist attack.
Menurut SETARA, tragedi ini menegaskan pentingnya kesiapsiagaan dan langkah pencegahan yang berkelanjutan agar kejadian serupa tak terulang.
1. Bahaya Ekstremisme di Usia Dini
Baca juga:
Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, Hendardi: Prabowo Menanggung Beban Politik BaruSETARA Institute menilai tragedi SMAN 72 harus menjadi peringatan keras bahwa potensi ekstremisme di kalangan pelajar masih tinggi.
Nama-nama seperti Brenton Tarrant (pelaku teror di Selandia Baru) dan Alexandre Bissonnette (pelaku penembakan di Kanada), serta tulisan “Welcome to Hell” di senjata mainan milik pelaku, memperkuat dugaan bahwa kejadian ini tak bisa dilihat hanya sebagai tindak kriminal semata, melainkan indikasi kuat terorisme.
2. Kolaborasi untuk Mencegah Keterpaparan
SETARA menegaskan bahwa semua pihak harus terlibat aktif dalam mencegah ekstremisme kekerasan. Di era digital saat ini, arus informasi yang deras membuat anak muda rentan terpapar ideologi berbahaya.
Oleh karena itu, literasi kebangsaan, toleransi, dan penghargaan terhadap keberagaman harus diperkuat di sekolah dan ruang publik.
3. Bangun Kemampuan Berpikir Kritis dan Empati
Upaya pencegahan juga perlu difokuskan pada penguatan berpikir kritis dan penerimaan terhadap perbedaan sejak dini.
SETARA menekankan pentingnya membiasakan generasi muda untuk menyikapi perbedaan tanpa kekerasan. Ketidaksetujuan terhadap pandangan, keyakinan, atau simbol tertentu bukan alasan untuk melakukan perusakan atau penyerangan terhadap pihak lain.
4. Data Survei: Toleransi Remaja Menurun
Riset SETARA Institute tahun 2023 menemukan bahwa 24,2% remaja bersikap intoleran pasif, 5% intoleran aktif, dan 0,6% sudah terpapar ideologi ekstremisme.Meski 70,2% remaja masih tergolong toleran, angka intoleran aktif meningkat tajam dari 2,4% pada 2016 menjadi 5% di 2023. Kenaikan ini menunjukkan adanya tren mengkhawatirkan di kalangan pelajar.
5. Evaluasi Kebijakan Pemerintah
Menurut SETARA, program pencegahan ekstremisme di era pemerintahan Prabowo Subianto belum berjalan efektif.Minimnya kasus terorisme dalam beberapa tahun terakhir membuat agenda pencegahan dianggap cukup aman, padahal ancaman masih ada — terutama di kalangan remaja.
Tragedi di SMAN 72 menjadi bukti bahwa pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan harus kembali menjadi program prioritas nasional.
6. Perlu Sinergi Antar Lembaga
SETARA menyerukan agar pemerintah pusat dan daerah mengaktifkan kembali Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN-PE) serta Rencana Aksi Daerah (RAD-PE).
Kolaborasi antar aktor — dari pemerintah, lembaga pendidikan, hingga tokoh masyarakat — penting untuk memperkuat ekosistem toleransi berbasis tiga kepemimpinan: politik, birokrasi, dan kemasyarakatan.
7. Perundungan Bisa Jadi Pemicu
Fakta bahwa pelaku berusia 17 tahun dan diduga sering menjadi korban perundungan (bullying) di sekolah, harus menjadi perhatian serius.SETARA mengingatkan bahwa bullying bukan hal sepele — selain bisa memicu trauma, korban juga berpotensi mengalami penyimpangan perilaku hingga terjerumus pada ekstremisme kekerasan.
Kementerian Pendidikan diminta untuk memperkuat kebijakan anti-bullying dan memastikan sekolah menjadi ruang aman bagi semua siswa.
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, bersama Peneliti Hukum dan Konstitusi, Azeem Marhendra Amedi, menegaskan bahwa tragedi ini harus dijadikan momentum nasional untuk memperkuat literasi kebinekaan, toleransi, dan pencegahan ekstremisme kekerasan di kalangan generasi muda.