Loading
Surat Izin Keramaian Koramil Arcamanik - Beredar surat izin keramaian dari Koramil 1810/Arcamanik di media sosial. (Tangkapan Layar Akun IG: kodamsiliwiangi)
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Sebuah surat izin keramaian yang diterbitkan oleh Koramil 1810/Arcamanik Kodim 0618/Kota Bandung pada Minggu, 2 November 2025, menimbulkan gelombang reaksi publik. Surat tersebut mengizinkan kegiatan kuda renggong di wilayah Arcamanik dan langsung menuai kecaman dari berbagai kalangan, termasuk Mahfud MD, mantan Menko Polhukam RI.
Lembaga HAM Imparsial menilai penerbitan surat ini bukan hanya keliru secara prosedural, tetapi juga merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang dan penyimpangan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara.
TNI Tak Berwenang Terbitkan Izin Keramaian
Menurut Imparsial, tindakan Koramil Arcamanik jelas melampaui batas kewenangan TNI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia, tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi bangsa dari ancaman militer.
Dalam undang-undang itu juga ditegaskan bahwa urusan izin keramaian sepenuhnya menjadi wewenang Kepolisian, bukan TNI. Karena itu, langkah Koramil Arcamanik dianggap melanggar prinsip supremasi sipil dan mencederai semangat reformasi.
Baca juga:
Panglima TNI Sebut Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Aksi Terorisme, Tunggu Revisi UU AntiterosimeBayang-Bayang Dwifungsi Militer
Imparsial menilai kasus ini mencerminkan bahwa mentalitas dwifungsi militer masih bercokol di tubuh TNI. Fenomena semacam ini, kata mereka, menunjukkan bahwa sebagian aparat masih merasa berhak ikut campur dalam urusan sipil — sesuatu yang seharusnya sudah berakhir sejak reformasi 1998.
“Penerbitan surat izin keramaian oleh Koramil Arcamanik adalah bentuk nyata dari penyimpangan fungsi pertahanan. Ini menandakan TNI belum sepenuhnya profesional,” tegas Imparsial dalam pernyataannya diterima media ini.
Selain itu, mereka juga menyoroti menguatnya peran sosial-politik TNI dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu akar persoalannya adalah keengganan pemerintah untuk mereformasi komando teritorial (Koter) — struktur lama yang dulunya menjadi alat kontrol politik pada masa Orde Baru.
Desakan Imparsial kepada Pemerintah dan TNI
Atas kasus ini, Imparsial mendesak sejumlah langkah tegas agar kejadian serupa tidak terulang:
Imparsial menegaskan, Indonesia harus tetap berpegang pada supremasi sipil dan pemisahan tegas antara fungsi pertahanan dan keamanan, sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Sebagai penutup, Tim Imparsial yang terdiri dari Ardi Manto Adiputra (Direktur), Hussein Ahmad (Wakil Direktur), Annisa Yudha AS (Koordinator Peneliti), serta para peneliti Riyadh Putuhena dan Wira Dika Orizha Piliang, menyampaikan bahwa kasus ini menjadi pengingat penting bagi pemerintah dan masyarakat sipil untuk terus menjaga arah reformasi TNI agar tetap profesional, transparan, dan tunduk pada prinsip negara hukum.