Selasa, 30 Desember 2025

Pengadilan Swiss Terima Gugatan Iklim Nelayan Indonesia terhadap Holcim, Langkah Bersejarah Menuju Keadilan Iklim


 Pengadilan Swiss Terima Gugatan Iklim Nelayan Indonesia terhadap Holcim, Langkah Bersejarah Menuju Keadilan Iklim lustrasi: Penanaman bibit mangrove di kawasan Pulau Biawak, Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu. ANTARA/HO-Pemkab Kepulauan Seribu (Antara)

ZUG, SWISS/JAKARTA, ARAHKITA.COM — Sebuah pintu penting bagi keadilan iklim resmi terbuka di Eropa. Untuk pertama kalinya, Pengadilan Kanton Zug menyatakan gugatan iklim terhadap korporasi besar dapat diterima. Putusan yang diumumkan pada 22 Desember 2025 itu mengabulkan seluruh permohonan awal empat nelayan Indonesia yang menggugat raksasa semen multinasional Holcim—sebuah keberhasilan awal yang menandai babak baru perjuangan warga pesisir melawan krisis iklim.

Empat warga Pulau Pari—Asmania, Arif, Edi, dan Bobby—mengajukan gugatan pada Januari 2023. Sidang perdana berlangsung sejak September 2024. Kini, seluruh keberatan prosedural Holcim ditolak. Artinya, perkara akan berlanjut ke pemeriksaan pokok: apakah tanggung jawab iklim korporasi bisa dimintai pertanggungjawaban hukum oleh warga yang terdampak langsung.

Hidup di Tengah Rob, Melawan dari Pinggir Pesisir

Pulau Pari dalam beberapa tahun terakhir kerap dilanda banjir rob. Naiknya muka air laut—diperparah krisis iklim—menggerus ruang hidup dan mata pencaharian nelayan. Dalam gugatannya, para penggugat menuntut kompensasi atas kerugian, dukungan pendanaan perlindungan banjir, serta penurunan emisi CO₂ yang cepat dan nyata dari Holcim, salah satu kontributor emisi karbon global.

“Kami sangat bersyukur. Keputusan ini memberi kami kekuatan untuk melanjutkan perjuangan. Ini kabar baik bagi kami dan keluarga kami,” ujar Asmania, nelayan Pulau Pari.

Pengadilan: Keadilan Iklim Itu Mendesak

Majelis hakim menepis dalih Holcim bahwa isu iklim semestinya diselesaikan lewat proses politik, bukan pengadilan. Putusan menegaskan, peradilan tidak menggantikan kebijakan iklim, melainkan melengkapinya. Perkara ini dinilai konkret, mendesak, dan relevan, karena menyangkut perlindungan langsung atas kehidupan dan penghidupan warga Pulau Pari.

Argumen bahwa pulau akan tenggelam “apa pun yang terjadi” juga ditolak. Hakim menekankan bahwa setiap upaya pengurangan emisi tetap bermakna, dan perilaku merugikan tidak dapat dibenarkan hanya karena banyak pihak lain melakukan hal serupa. Dengan demikian, para penggugat dinyatakan berhak penuh membawa perkara ini ke pengadilan.

Preseden Global, Harapan bagi Korban Krisis Iklim

Putusan ini dipandang sebagai preseden penting bagi korban krisis iklim di seluruh dunia. WALHI menilai keputusan tersebut mengukuhkan peran pengadilan dalam menagih pertanggungjawaban korporasi besar.

Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Boy Jerry Even Sembiring, menyebut putusan ini sebagai rujukan global untuk menuntut emitor besar. “Kita punya preseden baru untuk membawa korporasi besar yang berkontribusi pada krisis iklim agar bertanggung jawab atas bencana ekologis yang terjadi,” ujarnya.

Sejalan dengan Arah Hukum Internasional

Meski belum final dan masih terbuka banding, putusan Pengadilan Kanton Zug memperkuat tren hukum internasional: krisis iklim adalah isu hukum, dan produsen emisi besar tak lagi mudah berlindung di balik celah prosedural. Dukungan terhadap kasus ini datang dari jaringan organisasi masyarakat sipil lintas negara, termasuk Swiss

Church Aid (HEKS/EPER) dan European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR)—yang mendorong prinsip sederhana namun tegas: penyebab krisis harus ikut menanggung dampaknya.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Hukum & Kriminalitas Terbaru