Selasa, 30 Desember 2025

Sindrom Sakit Liburan: Mengapa Banyak Orang Jatuh Sakit saat Liburan dan Setelahnya


 Sindrom Sakit Liburan: Mengapa Banyak Orang Jatuh Sakit saat Liburan dan Setelahnya Mengapa Banyak Orang Jatuh Sakit Saat Liburan dan Setelahnya. (Freepik)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Sindrom sakit liburan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika seseorang justru merasa sakit tepat saat liburan dimulai atau sesaat setelah masa libur berakhir. Fenomena ini cukup umum terjadi dan sering menimbulkan frustrasi karena muncul pada waktu yang seharusnya digunakan untuk beristirahat dan menikmati momen bersama keluarga atau diri sendiri.

Meski tidak diklasifikasikan sebagai diagnosis medis resmi, sindrom sakit liburan merujuk pada kumpulan gejala fisik dan emosional yang nyata. Gejalanya dapat berupa kelelahan ekstrem, sakit kepala, gangguan pencernaan, perubahan suasana hati, hingga perasaan tidak bertenaga. Kondisi ini sering dikaitkan dengan perubahan mendadak pada tingkat stres, rutinitas harian, dan gaya hidup.

Para peneliti, dilansir Medical Daily, menilai sindrom ini muncul akibat peralihan tubuh dari fase tekanan tinggi menuju fase relaksasi dalam waktu singkat. Banyak orang memforsir diri menjelang liburan untuk menyelesaikan pekerjaan, mengatur perjalanan, atau memenuhi tuntutan sosial. Ketika tekanan tersebut tiba-tiba hilang, tubuh mengalami apa yang dikenal sebagai efek penurunan, yakni kondisi ketika hormon stres menurun secara cepat dan sistem kekebalan tubuh menjadi lebih rentan.

Selain itu, pola hidup selama liburan juga berperan besar. Jam tidur yang berantakan, konsumsi makanan berlemak dan manis, alkohol, serta kurangnya aktivitas fisik dapat memicu gangguan kesehatan ringan. Perjalanan jauh, perubahan iklim, paparan virus di ruang publik seperti bandara dan transportasi umum turut meningkatkan risiko tubuh jatuh sakit.

Tidak sedikit pula faktor emosional yang berkontribusi. Liburan sering membawa ekspektasi tinggi, konflik keluarga, tekanan finansial, atau rasa kesepian. Beban emosional tersebut dapat memperkuat reaksi fisik dan membuat gejala terasa lebih berat. Organisasi Kesehatan Dunia mencatat bahwa stres psikologis memiliki hubungan erat dengan penurunan daya tahan tubuh.

Sindrom sakit liburan juga dapat muncul setelah masa libur usai. Kelelahan yang terakumulasi selama liburan, ditambah transisi mendadak kembali ke rutinitas kerja atau sekolah, kerap memicu sakit kepala, nyeri otot, gangguan pencernaan, hingga perubahan suasana hati. Bagi sebagian orang, pola ini berulang hampir setiap kali liburan panjang berakhir.

Meski umumnya bersifat ringan dan dapat pulih dengan sendirinya, kondisi ini tetap perlu diwaspadai. Gejala berat seperti demam tinggi berkepanjangan, nyeri dada, sesak napas, atau gangguan mental yang signifikan memerlukan penanganan medis segera. Bagi mereka yang mengalami pola sakit berulang setiap liburan, berkonsultasi dengan tenaga kesehatan dapat membantu mengidentifikasi stres kronis atau kondisi tersembunyi lainnya.

Pencegahan

Para ahli menyarankan agar pencegahan dilakukan dengan menjaga ritme hidup tetap stabil menjelang dan selama liburan. Mengatur waktu istirahat sebelum liburan, menjaga pola tidur, membatasi konsumsi alkohol, serta mengelola ekspektasi dapat membantu tubuh beradaptasi lebih baik. Liburan yang direncanakan dengan realistis dan disertai perawatan diri justru dapat benar-benar memberi manfaat bagi kesehatan fisik dan mental.

Sindrom sakit liburan menjadi pengingat bahwa tubuh membutuhkan transisi yang sehat antara kerja dan istirahat. Dengan memahami mekanismenya, masyarakat diharapkan dapat menikmati liburan tanpa harus mengorbankan kesehatan.

Pertanyaan dan Fakta Seputar Sindrom

1. Dapatkah sindrom sakit liburan memengaruhi orang yang tinggal di rumah alih-alih bepergian?

Ya, sindrom sakit liburan dapat memengaruhi orang yang tinggal di rumah karena pemicu utamanya adalah perubahan stres dan gangguan rutinitas, bukan hanya perjalanan. Seseorang mungkin merasa tidak enak badan ketika waktu libur dimulai, bahkan jika mereka menghabiskan seluruh liburan di rumah, hanya karena mereka telah berada di bawah tekanan dan kemudian tiba-tiba rileks.

2. Apakah tipe kepribadian membuat seseorang lebih mungkin mengalami sindrom sakit liburan?

Ciri-ciri kepribadian tertentu dapat meningkatkan kerentanan, terutama perfeksionisme, tanggung jawab yang tinggi, dan kesulitan "melepaskan diri" dari pekerjaan. Orang yang merasa bersalah beristirahat atau yang terlalu merencanakan setiap detail liburan mungkin mengalami lebih banyak ketegangan sebelum liburan dan "penurunan" yang lebih kuat begitu liburan dimulai.

3. Dapatkah sindrom sakit liburan dilacak atau dipantau dari waktu ke waktu?

Ya, individu dapat melacak pola dengan mencatat kapan gejala muncul di sekitar liburan dalam jurnal atau aplikasi kesehatan digital. Mencatat pola tidur, stres, pola makan, dan suasana hati sebelum, selama, dan setelah liburan dapat mengungkap pemicu dan membantu menyempurnakan strategi pencegahan untuk liburan di masa mendatang.

4. Apakah anak-anak dan remaja mungkin mengalami sindrom penyakit liburan?

Anak-anak dan remaja dapat menunjukkan pola yang serupa, terutama di sekitar liburan sekolah, ujian, atau acara keluarga besar. Mereka mungkin tidak menggambarkannya sebagai "sindrom," tetapi peningkatan kelelahan, perubahan suasana hati, sakit perut, atau infeksi ringan di sekitar liburan dapat mencerminkan mekanisme stres-plus-perubahan rutinitas yang sama seperti yang terlihat pada orang dewasa.

Editor : Lintang Rowe

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Kesehatan Terbaru