Loading
Makan Bergizi Gratis perdana di Jakarta tanpa susu (Foto: Liputan6.com)
JAKARTA, ARAHKITA.COM - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang sebagai program unggulan nasional dinilai belum mampu mencapai tujuan utamanya setelah hampir satu tahun pelaksanaan. Studi terbaru Center of Economic and Law Studies (CELIOS) bertajuk: Studi Evaluasi-1 Tahun-Makan (Tak) Bergizi (Tak) Gratis 2025 menunjukkan bahwa MBG belum terbukti memperbaiki gizi anak, meringankan beban ekonomi keluarga, maupun mendorong perubahan perilaku belajar siswa secara signifikan.
Evaluasi yang Datang dari Luar Pemerintah
Hingga kini, pemerintah belum merilis evaluasi komprehensif berbasis data mengenai dampak MBG. Dalam kekosongan tersebut, CELIOS melakukan studi independen menggunakan pendekatan mixed methods, menggabungkan survei nasional terhadap 1.868 responden, survei 691 ahli gizi di 27 provinsi, serta wawancara lapangan dan analisis kebijakan.
Hasilnya memperlihatkan jarak yang lebar antara klaim keberhasilan program dengan realitas di lapangan.
Empat Tujuan Utama MBG, Nol yang Tercapai
CELIOS mencatat bahwa dari empat tujuan utama MBG—memperbaiki gizi anak, meringankan beban ekonomi keluarga, memberdayakan ekonomi lokal, dan menciptakan lapangan kerja—tidak satu pun yang tercapai secara meyakinkan setelah hampir satu tahun berjalan.
Sebanyak 65 persen responden mengaku tetap harus mengeluarkan uang tambahan untuk makanan di luar MBG. Artinya, program ini belum mampu mengurangi pengeluaran rumah tangga sebagaimana yang dijanjikan.
Fokus Belajar Tak Berubah, Klaim Dipertanyakan
Dari sisi pendidikan, hasil survei menunjukkan 52 persen orang tua tidak melihat perubahan keaktifan dan fokus anak di sekolah, sementara 55 persen menyatakan tingkat kerajinan anak tetap sama meski telah menerima MBG.
Temuan ini menantang narasi bahwa pemberian makanan gratis otomatis berdampak pada kualitas belajar anak. CELIOS menilai, tanpa perbaikan kualitas gizi dan ketepatan sasaran, program berisiko hanya menjadi intervensi simbolik.
Bantuan Tunai Dinilai Lebih Relevan
Menariknya, 73 persen responden justru lebih memilih bantuan langsung tunai (BLT) dibandingkan program MBG. Preferensi ini mencerminkan kebutuhan fleksibilitas keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan bergizi sesuai konteks lokal dan kondisi ekonomi masing-masing rumah tangga.
Minim Transparansi dan Risiko Tata Kelola
Studi ini juga menyoroti persoalan tata kelola. Sebanyak 79 persen responden menyadari adanya potensi konflik kepentingan dalam penunjukan mitra MBG, sementara hampir separuh responden tidak mengetahui keterlibatan UMKM lokal dalam rantai pasok makanan.
Kondisi tersebut dinilai membuka ruang inefisiensi hingga risiko keamanan pangan, yang dalam setahun terakhir ditandai oleh meningkatnya kasus keracunan makanan di berbagai daerah.
Catatan Awal: Program Besar Butuh Evaluasi Serius
CELIOS menegaskan bahwa ukuran keberhasilan kebijakan publik tidak cukup diukur dari jumlah porsi makanan yang dibagikan atau luasnya cakupan penerima. Tanpa evaluasi berbasis dampak dan transparansi, program berskala raksasa seperti MBG berisiko menjadi beban fiskal tanpa manfaat jangka panjang.