Loading
Aktivis perempuan Eva Sundari. (Liputan6.com)
JAKARTA, ARAHKIT.COM — Upaya penulisan ulang sejarah nasional menuai kritik karena dinilai lebih mengedepankan sudut pandang pelaku ketimbang korban, khususnya perempuan. Para aktivis dan sejarawan pun mengingatkan potensi terjadinya pengaburan sejarah dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila.
Dalam sebuah diskusi publik yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia, Selasa (17/6/2025), aktivis perempuan Eva Sundari menyampaikan kekhawatirannya terhadap minimnya representasi korban, terutama perempuan, dalam narasi sejarah yang sedang dibentuk kembali oleh negara.
“Sejarah yang ditulis saat ini justru memakai perspektif pelaku. Perempuan hanya dijadikan objek, bukan subjek. Ini mengabaikan pengalaman mereka sebagai korban,” ujar Eva.
Menurutnya, Pancasila sebagai dasar negara menekankan kesetaraan, inklusivitas, dan semangat gotong royong. Namun semangat itu justru luput dalam proses penyusunan ulang sejarah yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya Kementerian Kebudayaan.
“Ketika perempuan dihapus dari cerita sejarah, itu adalah kesalahan epistemik yang serius,” tegasnya.
Eva pun mengingatkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon agar menjadikan sejarah sebagai alat pemulihan martabat bangsa—bukan sebagai sarana untuk menutupi luka-luka masa lalu. Ia menolak adanya impunitas terhadap praktik budaya dan sejarah yang menyakiti kelompok rentan.
“Jangan bungkam suara korban, apalagi perempuan. Tugas negara adalah memulihkan, bukan menghapus jejak penderitaan mereka,” katanya.
Senada dengan Eva, sejarawan Andi Achdian menyoroti bahwa proyek penulisan ulang sejarah saat ini terkesan terburu-buru dan belum berlandaskan kesadaran moral yang utuh.
“Kalau sejarah hanya ditulis berdasarkan data teknis tanpa mempertimbangkan nilai-nilai etis, maka itu sangat berisiko. Apalagi jika mengabaikan peristiwa traumatis seperti kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya.
Andi menegaskan, sejarah nasional seharusnya mencerminkan kebenaran dan keadilan, bukan menjadi alat pembersihan politik masa lalu. Ia menolak keras jika kekerasan terhadap perempuan hanya disebut sebagai “ekses” dari konflik.
“Tubuh perempuan selalu jadi target dalam setiap krisis politik. Kalau penderitaan itu hanya ditulis sebagai efek samping, maka korban dibunuh dua kali: secara fisik dan secara sejarah,” tandasnya dikutip dari Antara.