Selasa, 30 Desember 2025

Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Dinilai Khianati Reformasi 1998 dan Bertentangan dengan Hukum


  • Senin, 27 Oktober 2025 | 13:30
  • | News
 Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Dinilai Khianati Reformasi 1998 dan Bertentangan dengan Hukum Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi. (Setara Institute)

JAKARTA, ARAHKITA.COM – Rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto kembali memicu kontroversi. Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menilai langkah ini tidak hanya mengabaikan sejarah kelam masa Orde Baru, tetapi juga melanggar prinsip hukum dan semangat Reformasi 1998.

Langkah Sistematis Pemerintah

Hendardi menyoroti pernyataan Menteri Kebudayaan RI yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, bahwa semua tokoh yang diusulkan Kementerian Sosial — termasuk Soeharto — dianggap memenuhi kriteria untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Menurutnya, hal ini memperlihatkan adanya upaya sistematis dari pemerintahan Prabowo Subianto beserta elite politik di sekelilingnya untuk memulihkan citra Soeharto.

“Langkah ini semakin jelas setelah MPR mencabut TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 yang menyinggung nama Soeharto hanya sebulan sebelum pelantikan Prabowo sebagai Presiden,” ujar Hendardi dalam keterangan persnya, 27 Oktober 2025.

Melupakan Amanat Reformasi

TAP MPR XI/1998 sejatinya menjadi tonggak Reformasi 1998 yang menuntut penyelenggaraan negara bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Pasal 4 TAP tersebut menegaskan bahwa pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun, termasuk mantan presiden Soeharto, tanpa mengabaikan hak asasi manusia.

“Dengan mencabut TAP itu dan kini mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, pemerintah dan elite politik seolah mengalami amnesia sejarah dan mengkhianati amanat reformasi,” tegas Hendardi.

Bertentangan dengan UU Gelar dan Tanda Kehormatan

Hendardi menegaskan bahwa langkah ini tidak hanya bermasalah secara moral, tapi juga melawan hukum, khususnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Dalam Pasal 24 UU tersebut disebutkan bahwa penerima gelar harus memiliki integritas moral, keteladanan, berkelakuan baik, tidak mengkhianati bangsa, dan tidak pernah dijatuhi pidana minimal lima tahun.

“Berdasarkan kriteria itu, Soeharto tidak memenuhi syarat,” kata Hendardi.

Rekam Jejak Pelanggaran dan Korupsi

Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto dianggap bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia, praktik korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan.

Kasus korupsi bahkan sempat terbukti di pengadilan. Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan No. 140 PK/Pdt/2005 menyatakan bahwa Yayasan Supersemar yang dipimpin Soeharto terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan membayar ganti rugi lebih dari Rp 4,4 triliun kepada negara.

“Fakta-fakta hukum ini seharusnya cukup untuk menunjukkan bahwa Soeharto tidak pantas dijadikan pahlawan nasional,” ujar Hendardi dalam pernyataan yang disampaikan ke media ini, Senin (27/10/2025).

Kemunduran Demokrasi

Lebih jauh, Hendardi menilai jika pemerintah tetap memberikan gelar tersebut, maka Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan pola kepemimpinan yang mengarah pada absolutisme kekuasaan.

“Ini seperti mengulang sejarah lama, di mana kekuasaan dianggap identik dengan negara. Sebuah pola yang dulu bahkan diidentikkan dengan ungkapan Raja Louis XIV: L’État, c’est moi — Negara adalah aku,” pungkasnya.

 

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

News Terbaru