Selasa, 30 Desember 2025

10 Bencana Iklim Terbesar 2025 Sebabkan Kerugian Global Lebih dari 122 Miliar Dolar, Indonesia Termasuk di Antaranya


  • Minggu, 28 Desember 2025 | 12:30
  • | News
 10 Bencana Iklim Terbesar 2025 Sebabkan Kerugian Global Lebih dari 122 Miliar Dolar, Indonesia Termasuk di Antaranya 10 Bencana Iklim Terbesar 2025 Sebabkan Kerugian Lebih dari 122 Miliar Dolar. (Freepik)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Bencana iklim menimbulkan kerugian global lebih dari 122 miliar dolar AS sepanjang tahun 2025. Namun, angka tersebut dinilai belum mencerminkan dampak sebenarnya, karena banyak peristiwa paling mematikan yang terjadi di negara-negara miskin yang tidak memiliki perlindungan asuransi dan tidak tercatat secara finansial.

Analisis terbaru dari lembaga amal Christian Aid mencatat sedikitnya 10 bencana terkait iklim dengan kerugian masing-masing melebihi 1 miliar dolar. Sebagian besar estimasi kerugian berasal dari klaim asuransi, yang umumnya lebih tinggi di negara-negara maju dengan nilai properti besar dan sistem asuransi yang mapan.

Asia, dilansir The Independent, menjadi kawasan paling terdampak, dengan empat bencana iklim termahal tahun ini terjadi di benua tersebut. Siklon dan banjir besar yang melanda Asia Selatan dan Tenggara pada bulan November menyebabkan kerugian sekitar 25 miliar dolar dan menyebabkan lebih dari 1.750 orang di Thailand, Indonesia, Sri Lanka, Vietnam, dan Malaysia.

Di Tiongkok, banjir besar menimbulkan kerugian hampir 12 miliar dolar dan merugikan sedikitnya 30 orang. Sementara itu, banjir dan tanah longsor di India dan Pakistan merenggut lebih dari 1.860 nyawa serta mengejutkan jutaan warga. Topan di Filipina juga menyebabkan kerugian lebih dari 5 miliar dolar dan memaksa lebih dari 1,4 juta orang mengungsi.

Amerika Serikat mencatat satu bencana paling mahal secara tunggal, yakni kebakaran hutan di California dengan kerugian melebihi 60 miliar dolar dan lebih dari 400 korban jiwa. Meski demikian, dominasi Asia secara keseluruhan menunjukkan besarnya dampak iklim di kawasan dengan populasi padat dan kerentanan tinggi.

Di Afrika dan wilayah lain, banyak bencana besar tidak masuk dalam perhitungan biaya global. Banjir di Nigeria dan Republik Demokratik Kongo menurunkan ratusan orang, sementara kekeringan berkepanjangan di Iran dan Asia Barat membuat hingga 10 juta warga Teheran terancam kekurangan udara dan evakuasi massal.

Direktur Power Shift Africa, Mohamed Adow, menyebut bahwa negara-negara kaya menghitung kerugian dalam angka, sementara negara miskin menghitung nyawa, rumah, dan masa depan yang hilang. Ia menegaskan bahwa beban terberat krisis iklim justru ditanggung oleh masyarakat dengan sumber daya yang paling terbatas.

Para ilmuwan menilai bencana-bencana tersebut bukan sekadar peristiwa alam, melainkan konsekuensi dari krisis iklim yang dipicu oleh terbakarnya bahan bakar fosil dan lambatnya kebijakan global. Suasana yang semakin hangat meningkatkan curah hujan ekstrem, banjir, kekeringan, gelombang panas, hingga kebakaran hutan.

Temuan ini sejalan dengan laporan Copernicus yang menyebut tahun 2025 berpotensi menjadi tahun terpanas kedua atau ketiga dalam sejarah pencatatan global. Organisasi Meteorologi Dunia juga mencatat bahwa satu dekade terakhir merupakan periode terpanas yang pernah terjadi.

CEO Christian Aid, Patrick Watt, menegaskan bahwa penderitaan akibat krisis iklim merupakan hasil dari pilihan politik global. Ia menyoroti kegagalan negara-negara besar dalam menepati janji menjamin iklim dan menekan emisi, sementara dampaknya terus menghancurkan kehidupan masyarakat paling rentan di dunia.

Editor : Lintang Rowe

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

News Terbaru