Loading
Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno. ANTARA/HO-MPR RI
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menegaskan bahwa pasar karbon bukan sekadar instrumen untuk menekan emisi, melainkan harus menjadi penggerak utama investasi hijau dan daya saing ekonomi nasional.
“Indonesia datang ke COP30 dengan pesan yang kuat: pasar karbon harus menjadi mesin pertumbuhan ekonomi hijau yang inklusif dan berintegritas tinggi,” ujar Eddy dalam pidato kuncinya pada sesi bertajuk Scaling Up Carbon Markets – Advancing Markets Through Global Collaboration di Paviliun Indonesia, Belem, Brazil, Rabu (12/11/2025).
Sesi tersebut dihadiri berbagai tokoh lintas negara, termasuk Evy Haryadi (PLN), Dr. Ignatius Wahyu Marjaka (KLHK), Erling Motzfeldt Kravik (Kementerian Iklim dan Lingkungan Norwegia), serta Margaret Kim (CEO Gold Standard).
Landasan Hukum dan Peluang Investasi Hijau
Eddy menjelaskan bahwa lahirnya Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) menjadi tonggak penting dalam membangun ekosistem karbon yang kredibel, transparan, dan terhubung dengan agenda pembangunan nasional serta komitmen global terhadap iklim.
Baca juga:
Menaker Yassierli: Transisi Ekonomi Hijau Jadi Momentum Transformasi Dunia Kerja Indonesia“Dengan NEK, Indonesia tidak hanya berperan sebagai penghasil kredit karbon, tetapi juga sebagai pemain strategis dalam perdagangan karbon lintas negara,” tegasnya.
Saat ini, Indonesia memperkuat kerja sama internasional untuk menjalankan Article 6 Paris Agreement, termasuk dengan Singapura, Korea Selatan, Denmark, dan Norwegia. Langkah ini membuka jalan bagi perdagangan karbon lintas batas yang berintegritas tinggi.
Baca juga:
UE Sepakati Target Iklim 2040: Pangkas Emisi hingga 90 Persen, Babak Baru Ekonomi Hijau EropaEkonomi Hijau Menuju Pertumbuhan 8 Persen
Eddy menggarisbawahi bahwa strategi ekonomi hijau kini menjadi pilar utama dalam visi pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8 persen pada 2029.“Potensi sumber daya alam kita luar biasa — dari hutan seluas 126 juta hektare, mangrove 3,3 juta hektare, hingga potensi penyimpanan karbon sebesar 600 gigaton,” jelasnya. “Saat ini sudah ada 19 proyek carbon capture and storage (CCS) yang sedang disiapkan.”
Melalui RUPTL 2025–2034, Indonesia menargetkan pembangunan energi terbarukan sebesar 43 gigawatt (GW) serta kapasitas penyimpanan baterai 10,3 GW.Program besar ini diharapkan dapat menciptakan lebih dari 1,7 juta lapangan kerja hijau, sekaligus menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
MPR Dorong Keselarasan Regulasi dan Transisi Energi
Eddy juga menekankan komitmen MPR RI dalam memastikan keselarasan antara investasi, regulasi, dan kerja sama internasional di sektor energi.
“Melalui harmonisasi kebijakan dan reformasi regulasi, kami mendukung percepatan pembahasan RUU Perubahan Iklim, RUU Energi Terbarukan, dan RUU Ketenagalistrikan,” paparnya. “Ketiganya adalah fondasi hukum untuk pertumbuhan ekonomi rendah karbon.”
Seruan untuk Kolaborasi Global
Menutup pidatonya, Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia ini menyerukan pentingnya kolaborasi global untuk mengubah ambisi iklim menjadi aksi nyata.“Melalui dialog seperti COP30, kita menegaskan kembali komitmen untuk membangun masa depan yang hijau, berkelanjutan, dan sejahtera — bukan hanya bagi Indonesia, tapi juga bagi generasi mendatang,” tandas Eddy dikutip Antara.