Loading
Kepala Mandiri Institute Andre Simangunsong menyampaikan materi dalam acara Public and Business Leader Forum : 2026 Outlook & Challenges, di Jakarta, Sabtu (13/12/2025). ANTARA/ Muhammad Heriyanto
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Isu keberlanjutan tak lagi sekadar wacana, melainkan telah menjadi inti strategi bisnis global. Menurut Kepala Mandiri Institute, Andre Simangunsong, permintaan akan pembiayaan berkelanjutan atau yang dikenal sebagai green loan diperkirakan akan mengalami lonjakan signifikan mulai tahun 2026. Peningkatan ini sejalan dengan makin besarnya komitmen dunia usaha untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) Indonesia pada 2060.
Meskipun tahun 2025 diwarnai oleh berbagai tantangan ekonomi global, mulai dari gejolak geopolitik, perang dagang, hingga perang tarif, Andre menegaskan bahwa minat terhadap pembiayaan berbasis ESG (Environmental, Social, and Governance)—khususnya untuk proyek-proyek ramah lingkungan—tetap berada di level yang tinggi.
“Permintaan untuk ESG financing yang bersifat project financing masih cukup besar, bahkan di tengah kondisi ekonomi saat ini,” ungkap Andre di Jakarta, Sabtu (13/12/2025), saat Public and Business Leader Forum: 2026 Outlook & Challenges.
Dorongan Iklim dan Regulasi Jadi Kunci
Andre Simangunsong memperkirakan bahwa sustainability financing akan kembali menjadi agenda utama di tahun 2026. Pemicunya tak lain adalah meningkatnya kesadaran global terhadap risiko iklim, terutama setelah serangkaian bencana alam yang terjadi di berbagai level. Kondisi ini memaksa perusahaan untuk segera mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam strategi bisnis mereka.
Selain itu, sektor perbankan juga menerima "tekanan positif" dari regulator. Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara aktif mendorong implementasi Climate Risk Stress Testing (CRST). “Jelas terlihat, dari sisi supply dan demand, terdapat kebutuhan yang semakin tinggi untuk pembiayaan hijau,” tambahnya.
Dua Pilar Utama: Pemerintah dan Sektor Keuangan
Perkembangan pesat pembiayaan hijau didorong oleh dua pilar utama. Pertama, peran sentral pemerintah sebagai penerbit terbesar obligasi berkelanjutan, mencakup green bond dan social bond. Kedua, sektor keuangan. Sektor ini dianggap paling siap menjadi enabler utama, karena menjadi penerbit obligasi berkelanjutan terbesar kedua setelah pemerintah, sekaligus menjadi penyalur utama dari pembiayaan ini.
Mandiri Institute juga melakukan survei terhadap perusahaan-perusahaan tercatat (listed companies) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hasilnya menunjukkan bahwa jenis pembiayaan berkelanjutan yang paling diincar oleh perusahaan adalah green loan.
“Kami memproyeksikan permintaan terhadap proyek penurunan emisi dan peningkatan efisiensi energi akan terus merangkak naik dalam tiga hingga lima tahun ke depan. Perbankan harus bersiap memenuhi kebutuhan ini,” ujar Andre.
Sektor Mana yang Perlu Tancap Gas?
Hasil pengukuran Mandiri Institute menunjukkan bahwa kesadaran (awareness) terhadap isu ESG sudah merata di hampir seluruh sektor usaha. Namun, implementasi dan adopsi ESG ke dalam strategi perusahaan masih perlu ditingkatkan di beberapa sektor tertentu.
“Jika kesadaran sudah pasti ada, namun dari sisi kesiapan implementasi hingga adopsi pada level manajemen dan strategi perusahaan, sektor seperti agrikultur, FMCG (Fast-Moving Consumer Goods), dan transportasi yang paling perlu ditingkatkan,” jelas Andre dikutip Antara.
Data Mandiri Institute hingga semester I-2025 menunjukkan adanya disparitas adopsi pembiayaan berkelanjutan:
Kesenjangan ini sekaligus mengindikasikan adanya potensi pertumbuhan yang sangat besar, terutama bagi sektor yang masih tertinggal, agar Indonesia dapat mempercepat laju transisi energinya dan mencapai target NZE 2060.