Loading
Permintaan LNG Asia Diproyeksi Turun 5 Persen pada 2025. (Foto ilustrasi: Freepik)
JAKARTA, ARAHKITA.COM - Permintaan gas alam cair atau LNG di kawasan Asia diperkirakan turun sekitar 5 persen pada 2025, menjadi penurunan tahunan paling tajam sejak 2022. Proyeksi ini muncul di tengah harga LNG yang masih relatif tinggi serta ketegangan perdagangan global yang terus menekan minat impor negara-negara Asia terhadap bahan bakar tersebut.
Penurunan permintaan ini terjadi pada saat kapasitas ekspor LNG global justru diproyeksikan tumbuh dengan laju tercepat sepanjang sejarah. Kondisi tersebut berlawanan dengan optimisme sebagian investor dan pelaku industri gas yang selama ini meyakini bahwa pertumbuhan permintaan Asia akan cukup kuat untuk menyerap tambahan pasokan baru.
Skenario terbaru Badan Energi Internasional atau IEA bahkan masih memperkirakan peningkatan permintaan LNG yang berkelanjutan di pasar-pasar utama Asia hingga lebih dari satu dekade ke depan.
Namun, dilansir ieefa.org, data terbaru menunjukkan gambaran yang berbeda. Berdasarkan catatan Kpler hingga November, permintaan LNG Asia diperkirakan turun dari sekitar 254 juta ton pada 2024 menjadi 240 juta ton pada 2025. Penurunan paling signifikan berasal dari Tiongkok, yang memangkas impor LNG seiring meningkatnya ketegangan dengan Amerika Serikat dan dorongan untuk memperkuat keamanan energi domestik.
Tiongkok memanfaatkan ketersediaan sumber energi yang lebih murah dan lebih dekat, seperti produksi gas dalam negeri, impor gas pipa, batu bara, serta energi terbarukan. Kombinasi ini memungkinkan Beijing mengurangi impor LNG hingga sekitar 16 persen pada 2025. Dampaknya, Jepang berpeluang kembali menjadi importir LNG terbesar di dunia, meski permintaannya sendiri diperkirakan tetap menurun lebih dari 1 persen akibat peningkatan pembangkit listrik tenaga nuklir dan energi terbarukan.
Pelemahan permintaan LNG juga terjadi di negara-negara Asia lainnya. India diperkirakan mengurangi pembelian LNG sekitar 8 persen karena harga tinggi dan meningkatnya kontribusi energi terbarukan di sektor pupuk, kilang, dan pembangkit listrik. Di Thailand, impor LNG diproyeksikan turun sekitar 13 persen seiring perlambatan ekonomi dan lonjakan produksi energi surya yang mengurangi kebutuhan listrik berbasis gas.
Pakistan, yang sebelumnya dipandang sebagai pasar pertumbuhan LNG potensial, kini mulai menjauh dari LNG dalam strategi energinya. Setelah bertahun-tahun menghadapi biaya impor yang mahal, ledakan penggunaan energi surya skala rumah tangga dan komersial membuat permintaan LNG negara tersebut diperkirakan turun sekitar 14 persen pada 2025.
Sementara itu, Korea Selatan mencatatkan kenaikan permintaan sekitar 1 persen, namun rencana energi jangka panjang menunjukkan peran LNG akan menurun dalam dekade mendatang. Taiwan justru meningkatkan ketergantungan pada LNG seiring penghapusan bertahap pembangkit listrik tenaga nuklir.
Kondisi ini menambah ketidakpastian terhadap prospek jangka panjang LNG di Asia. Meski banyak analis masih mengacu pada skenario kebijakan saat ini dari IEA yang memproyeksikan pertumbuhan permintaan hingga 2035, asumsi tersebut tidak memperhitungkan perubahan kebijakan baru. Kenyataannya, negara-negara Asia terus menyesuaikan kebijakan energi mereka sebagai respons terhadap volatilitas harga LNG, tantangan infrastruktur, keterbatasan turbin gas, serta risiko keamanan energi.
Di Asia Tenggara, keterbatasan turbin gas menjadi hambatan utama. Filipina dan Vietnam menghadapi penundaan bahkan pembatalan proyek pembangkit listrik tenaga LNG karena kendala pasokan peralatan, biaya tinggi, dan kekhawatiran membebani konsumen. Thailand juga menunda pengoperasian sebagian kapasitas pembangkit listrik tenaga gas akibat lemahnya permintaan listrik domestik.
Di Asia Selatan, peralihan dari gas domestik murah ke LNG impor yang mahal terus menekan industri. Bangladesh dan Pakistan kini mencari cara untuk menyesuaikan kontrak LNG jangka panjang, termasuk pengalihan dan penundaan kargo, guna mengurangi beban keuangan.
Sejumlah analis menilai potensi penurunan harga LNG akibat kelebihan pasokan global belum tentu cukup untuk memulihkan permintaan Asia secara signifikan. Peralihan dari batu bara ke gas membutuhkan harga yang sangat rendah, bahkan di bawah enam dolar AS per juta British thermal units, level yang dinilai sulit menopang rantai pasok LNG secara berkelanjutan.
Selain itu, adopsi energi terbarukan, pengembangan batu bara fleksibel, penggunaan pompa panas, hingga elektrifikasi transportasi di negara seperti Tiongkok berpotensi semakin membatasi ruang pertumbuhan LNG. Tanpa intervensi kebijakan dan pasar yang terkoordinasi, banyak hambatan struktural tersebut diperkirakan akan tetap ada.
Dengan demikian, penurunan permintaan LNG Asia pada 2025 menjadi sinyal kuat bahwa prospek pertumbuhan pesat tidak bisa dianggap sebagai kepastian. Bagi sejumlah pasar utama di kawasan ini, tantangan ekonomi, kebijakan, dan teknologi dapat membuat optimisme investor terhadap LNG semakin sulit diwujudkan.