Loading
Ilustrasi - Kasus Prostitusi Anak di Mataram. (unair.ac.id)
MATARAM, ARAHKITA.COM - Dugaan pemerasan mencuat dalam kasus prostitusi anak yang tengah ditangani Polda Nusa Tenggara Barat (NTB). Salah satu tersangka berinisial MA mengungkap bahwa dirinya diminta menyerahkan uang sebesar Rp125 juta kepada penyedia jasa prostitusi, yang disebut-sebut untuk “oknum Lembaga Perlindungan Anak (LPA)” Mataram.
Pengakuan tersebut muncul dalam secarik kertas yang ditulis tangan dan ditandatangani oleh MA. Kertas itu ditemukan saat rekonstruksi kasus yang digelar di Hotel Lombok Raya, Mataram, pada Jumat (20/6/2025).
“Memy (tersangka ES) minta uang Rp125 juta untuk oknum LPA, dan uang saya sudah berikan,” demikian isi pernyataan MA dalam tulisan tersebut.
Kuasa hukum MA, Muhammad Sapoan, membenarkan adanya permintaan dana tersebut. Ia menegaskan bahwa kliennya telah menyerahkan uang itu secara bertahap, baik melalui transfer bank maupun tunai.
“Permintaan ini datang dari ES, yang merupakan kakak kandung dari korban. Ada juga pembayaran uang muka rumah senilai Rp30 juta. Kami punya bukti berupa kuitansi dan dokumentasi foto,” jelas Sapoan.
Lebih jauh, Sapoan menyebutkan bahwa tak hanya ES, tetapi juga saudara kandungnya yang berinisial H turut menerima uang tunai sebesar Rp25 juta. Semua penyerahan uang itu, menurutnya, terjadi sebelum laporan resmi masuk ke Polda NTB.
“Uang itu diminta sebelum kasus dilaporkan. Ketika MA tak bisa memberi lagi, barulah ES melaporkannya,” tambahnya.
Sapoan menduga kliennya menjadi korban pemerasan yang dilakukan dengan mencatut nama institusi perlindungan anak. Meski disebut sebagai uang untuk “oknum LPA”, Sapoan menyatakan permintaan itu tidak datang langsung dari pihak LPA, melainkan dari ES.
Sementara itu, Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi, membantah tudingan tersebut. Ia menilai tuduhan tersebut tidak berdasar dan meminta agar bukti tulisan tangan MA disimpan untuk kepentingan konfrontasi antar tersangka.
“Kalau memang ada bukti, silakan dibuktikan. Tapi saya pastikan LPA tidak terlibat. ES sendiri di depan penyidik mengaku hanya menerima Rp25 juta,” ujar Joko.
Joko juga mengonfirmasi bahwa ES sempat datang menemuinya bersama sang bibi, mencoba melobi agar kasus tersebut tidak berlanjut. Namun permintaan itu ditolak.
“Dia datang dan bertanya, ‘Pak, berapa supaya kasus ini bisa dihentikan?’ Tapi saya tidak meladeni,” ucap Joko dikutip dari Antara.
Rekonstruksi kasus masih berlangsung di sejumlah lokasi, termasuk hotel kelas melati di kawasan Cakranegara, Kota Mataram.