Loading
Ilustrasi - Desakan penetapan status bencana nasional Sumatra. (Foto: Dok. WALHI)
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Baru-baru ini, kunjungan Presiden Prabowo ke Aceh Tamiang (12/12/2025) diwarnai dengan permintaan maaf kepada masyarakat terkait jaringan listrik yang belum pulih. Namun, bagi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), permintaan maaf tersebut akan jauh lebih bermakna dan berharga jika segera diikuti dengan tindakan nyata: Presiden harus memimpin penegakan hukum tegas terhadap korporasi yang terbukti berkontribusi pada banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dua minggu lalu.
Pesan moral Presiden soal pentingnya menjaga lingkungan dan larangan menebang pohon sembarangan seharusnya tidak hanya ditujukan kepada rakyat. WALHI menegaskan, pesan itu juga relevan dan mendesak untuk diarahkan kepada para pembantu Presiden di Kabinet, terutama Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri ATR/BPN, yang selama ini dinilai melanggengkan laju deforestasi dan kerusakan lingkungan melalui berbagai penerbitan izin.
Tak hanya itu, kritik keras WALHI juga menyoroti beberapa Menteri Kabinet Merah Putih yang diketahui memiliki keterkaitan dengan bisnis ekstraktif—sebuah potensi konflik kepentingan yang perlu diwaspadai.
Penegakan Hukum yang "Setengah Hati"
Uli Arta Siagian, Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, menganggap langkah-langkah penegakan hukum parsial yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Kepolisian sejauh ini masih jauh dari memuaskan.
"Penegakan hukum yang ada masih parsial. Belum menyasar secara utuh indikasi pelanggaran dan tindak pidana yang dilakukan oleh berbagai perusahaan di tiga provinsi terdampak," ujar Uli.
Meskipun sudah ada pembekuan persetujuan lingkungan, penyegelan, dan penyidikan terhadap beberapa perusahaan, subjek hukum Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT), dan aktivitas ilegal, gaungnya pun masih terbatas. Tindakan ini, misalnya, baru terdengar jelas di Sumatera Utara, sementara di Aceh dan Sumatera Barat, upaya hukum serupa masih sunyi.
Evaluasi Izin Menyeluruh dan Pencabutan Izin Mati
WALHI meminta Presiden Prabowo untuk bersikap lebih serius dan tegas. "Proses penegakan hukum tidak boleh sekadar menjadi gimmick. Evaluasi perizinan secara menyeluruh dan terbuka harus segera dilakukan," tambah Uli.
Menurut WALHI, kunci untuk keluar dari kondisi krisis lingkungan ini adalah: Pencabutan Izin Usaha Perusak Lingkungan.
"Seluruh perizinan yang jelas merusak lingkungan hidup dan mengakibatkan dampak buruk kepada masyarakat harus segera dicabut. Penjatuhan sanksi administrasi dengan menyasar pencabutan perizinan berusaha adalah kunci untuk lepas dari kondisi krisis ini," tegas Uli.
Lebih lanjut, WALHI juga menuntut agar Presiden memastikan para Menteri bertindak cepat untuk:
Serius Melawan Kejahatan Ekonomi Lingkungan
Selain korporasi, fokus tajam WALHI diarahkan pada penegakan hukum di lapangan. Presiden diminta meminta Kapolri untuk mengevaluasi seluruh Kapolda dan Kapolres di wilayah terdampak yang terindikasi membiarkan aktivitas ilegal di kawasan hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Pentingnya, penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal ini tidak boleh berhenti pada pelaku lapangan saja. WALHI mendesak penegakan hukum harus menyasar kejahatan ekonomi dalam bentuk penerapan ketentuan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Mereka yang memperoleh keuntungan utama dalam rantai bisnis ilegal harus turut diminta pertanggungjawabannya.
Uli Arta Siagian menegaskan bahwa peran Presiden untuk memimpin proses Evaluasi Izin Tambang Sawit dan penegakan hukum sangat mendesak. "Jika ada Menteri yang tidak serius atau bahkan belum melakukan tindakan apa pun, artinya ada indikasi tidak serius untuk memastikan peristiwa serupa tidak berulang," tutup Uli.
Hingga kini, publik belum mendengar upaya penegakan hukum atau aksi korektif yang dilakukan oleh Menteri ESDM dan Menteri ATR/BPN. Hal ini dinilai aneh mengingat temuan WALHI menunjukkan bahwa beberapa perizinan sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan—baik di dalam maupun di luar kawasan hutan—memiliki kontribusi besar pada penurunan daya tampung lingkungan hidup.
Permintaan maaf Presiden memang hal baik, tetapi harus segera diikuti dengan ketegasan memimpin proses evaluasi dan penegakan hukum terhadap aktivitas perizinan dan ilegal yang merusak lingkungan. Jika tidak, tragedi Banjir Aceh Sumut Sumatera Barat akan terulang, bahkan meluas ke wilayah Indonesia lainnya.