Loading
Grafis CELIOS: Sebanyak 79,2% responden menyatakan adanya konflik kepentingan dalam mekanisme penunjukan. (Tangkapan Layar Hasil Studi CELIOS)
JAKARTA, ARAHKITA.COM - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak hanya menuai kritik karena dampaknya yang minim terhadap gizi dan pendidikan anak, tetapi juga menghadapi persoalan serius terkait keamanan pangan dan tata kelola. Studi evaluasi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) bertajuk: Studi Evaluasi-1 Tahun-Makan (Tak) Bergizi (Tak) Gratis 2025 mencatat ribuan kasus keracunan makanan serta lemahnya transparansi dalam pengelolaan program berskala nasional ini
Kasus Keracunan: Alarm Dini yang Diabaikan
CELIOS mencatat bahwa sejak implementasi MBG hingga pertengahan November 2025, lebih dari 15 ribu penerima dilaporkan mengalami keracunan makanan di berbagai daerah. Angka ini bukan sekadar insiden sporadis, melainkan pola berulang yang menunjukkan lemahnya sistem pengawasan keamanan pangan.
Baca juga:
Kasus Keracunan Makan Bergizi Gratis Terus Berulang, Prof Tjandra Usulkan 5 Kebijakan PentingYang paling mengkhawatirkan, kasus keracunan tidak hanya menimpa siswa sekolah, tetapi juga kelompok rentan seperti ibu hamil, ibu menyusui, dan balita—kelompok yang seharusnya mendapat perlindungan ekstra dalam program gizi nasional.
CELIOS bahkan memperkirakan, tanpa reformasi menyeluruh, jumlah korban keracunan berpotensi melonjak signifikan dalam beberapa bulan ke depan.
Dapur Besar, Risiko Besar
Salah satu sorotan utama studi ini adalah model operasional MBG yang mengandalkan dapur besar terpusat (centralized kitchen). Dalam praktiknya, model ini dinilai memperbesar risiko keterlambatan distribusi, penurunan kualitas makanan, hingga kontaminasi pangan.
Di sejumlah daerah, makanan MBG dilaporkan tiba dalam kondisi dingin, terlambat, atau tidak sesuai standar kebersihan. CELIOS menilai pendekatan “satu dapur untuk banyak sekolah” mengabaikan prinsip keamanan pangan, terutama di wilayah dengan infrastruktur terbatas.
Rantai Pasok yang Tak Transparan
Masalah lain yang mengemuka adalah ketertutupan rantai pasok MBG. Hampir 48 persen responden menyatakan tidak mengetahui adanya keterlibatan usaha kecil atau warung lokal dalam penyediaan makanan MBG.
Alih-alih mendorong ekonomi lokal, program ini justru dinilai cenderung dikuasai oleh penyedia besar. Kondisi tersebut mempersempit peluang UMKM pangan dan menciptakan ketergantungan pada segelintir vendor.
Konflik Kepentingan yang Disadari Publik
Temuan paling tajam datang dari persepsi publik terhadap tata kelola program. Sebanyak 79 persen responden menyadari adanya potensi konflik kepentingan dalam penunjukan mitra dan vendor MBG.
CELIOS menyoroti praktik penunjukan langsung, minimnya mekanisme tender terbuka, serta lemahnya sistem pengaduan publik. Kombinasi faktor ini dinilai membuka ruang penyalahgunaan kewenangan, inefisiensi anggaran, hingga praktik rente dalam program bernilai ratusan triliun rupiah.
Tata Kelola Tanpa Fondasi Evaluasi
Studi ini juga mengkritik pendekatan monitoring dan evaluasi MBG yang dinilai tidak sebanding dengan skala program.
Hingga hampir satu tahun berjalan, belum ada evaluasi kuantitatif komprehensif yang dipublikasikan pemerintah terkait keamanan pangan, kualitas gizi, dan efektivitas distribusi.
CELIOS menegaskan bahwa mengukur keberhasilan hanya dari jumlah porsi makanan yang dibagikan adalah pendekatan administratif, bukan evaluasi kebijakan publik berbasis dampak.
Ketika Program Sosial Menjadi Risiko Sosial
Alih-alih memperkuat rasa aman, berbagai persoalan ini justru memicu kegelisahan di tingkat daerah. Penolakan MBG oleh sejumlah sekolah dan orang tua menjadi sinyal bahwa kepercayaan publik terhadap program mulai tergerus.
Menurut CELIOS, tanpa pembenahan serius, MBG berisiko berubah dari program perlindungan sosial menjadi sumber risiko kesehatan dan konflik sosial baru.
Menuju Titik Balik
Serial ini menunjukkan bahwa persoalan MBG bukan sekadar soal menu makan siang, melainkan menyangkut desain kebijakan, tata kelola, dan akuntabilitas negara. Risiko keracunan, rantai pasok tertutup, dan konflik kepentingan menjadi alarm keras bahwa program membutuhkan koreksi mendasar.
Pada serial berikutnya, evaluasi akan berlanjut ke aspek yang tak kalah krusial: biaya tersembunyi MBG dan manfaat ratusan triliun rupiah yang berpotensi hilang dari program pencegahan stunting dan kesehatan publik.