Loading
Menteri Kebudayaan Fadli Zon berkunjung ke Perpustakaan Universitas Leiden di Belanda. (Antaranews)
JAKARTA, ARAHKITA.COM - Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani menyatakan bahwa pihaknya akan memanggil Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam rapat kerja untuk membahas sejumlah isu penting, termasuk pernyataannya terkait Tragedi Mei 1998.
Lalu menyoroti pentingnya penulisan sejarah Indonesia yang jujur dan sensitif, khususnya terkait insiden kekerasan terhadap perempuan selama kerusuhan 1998.
“Tentu dalam penulisan sejarah nanti itu harus tetap dimasukkan. Mungkin nanti setelah masuk masa reses, kami akan undang Menteri Kebudayaan dalam rapat kerja untuk membahas hal ini,” ujarnya diitemui di Kantor Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) di Jakarta, Senin (16/6),
Lalu menegaskan bahwa publik telah mengetahui berbagai peristiwa tidak bermoral yang terjadi saat Tragedi Mei 1998, termasuk dugaan pemerkosaan massal. Data tersebut, lanjutnya, telah dikumpulkan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas Perempuan.
"Kalau memang betul, itu kan masal, jumlahnya lebih dari satu. Untuk apa kita tutup-tutupi? Itu bagian dari sejarah," ucapnya.
Baca juga:
Soeharto Dapat Gelar Pahlawan, Komnas HAM Ingatkan: Kasus Pelanggaran HAM Berat Tak Boleh DihentikanSebelumnya, Menbud Fadli Zon menyatakan dalam sebuah wawancara bahwa tidak ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998. Ia menyebut bahwa informasi tersebut hanya sebatas rumor yang belum bisa dibuktikan secara hukum.
"Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan," ujar Fadli, seraya menekankan perlunya sejarah yang mampu “mempersatukan bangsa.”
Baca juga:
Akademisi Minta Pemerintah Libatkan TGPF dan Penyintas Tragedi Mei 1998 dalam Penulisan SejarahPernyataan tersebut memicu reaksi keras dari sejumlah kalangan. Namun dalam klarifikasi terpisah, Fadli menegaskan bahwa dirinya mengecam segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan tidak bermaksud menihilkan penderitaan korban.
Menurutnya, istilah "perkosaan massal" perlu digunakan dengan hati-hati karena dapat memiliki dampak besar terhadap citra kolektif bangsa. Ia menekankan pentingnya verifikasi akademik dan hukum sebelum memasukkan terminologi tersebut ke dalam narasi sejarah resmi.
“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik,” kata Fadli dikutip Antara.