Loading
Dokumentasi seminar soal pendidikan dasar gratis yang diselenggarakan di Sekolah Partai PDIP di Lenteng Agung, Jakarta, Senin (30/6/2025). (ANTARA/HO-PDIP)
JAKARTA, ARAHKITA.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan negara menanggung biaya pendidikan dasar di sekolah swasta dinilai sebagai langkah besar menuju pendidikan yang lebih merata dan inklusif. PDI Perjuangan (PDIP) menilai keputusan ini sejalan dengan cita-cita Presiden pertama RI, Soekarno, dalam memperjuangkan akses pendidikan untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa diskriminasi.
Penilaian itu disampaikan oleh Kepala Badan Sejarah Indonesia PDIP, Bonnie Triyana, dalam seminar nasional bertajuk “Mewujudkan Amanat Konstitusi: Pendidikan Dasar Gratis untuk Meningkatkan SDM Unggul Berdaya Saing” yang digelar di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Senin (30/6/2025).
Pendidikan Gratis sebagai Amanat Konstitusi
Dalam paparannya, Bonnie menyebut bahwa sejak awal kemerdekaan, Bung Karno telah melihat pentingnya pemerataan pendidikan. Ia bahkan memimpin langsung gerakan pemberantasan buta huruf pada era 1950-an sebagai bentuk nyata komitmennya terhadap pendidikan.
“Bung Karno menyadari pendidikan adalah hak seluruh warga negara. Ini bukan hak eksklusif kelompok elite. Sistem pendidikan yang diskriminatif warisan kolonial harus dibongkar,” ujar Bonnie.
Ia menilai Putusan MK Nomor 3/PUU-XXII/2024 sebagai kelanjutan dari perjuangan tersebut. Putusan ini mewajibkan negara menjamin pendidikan dasar dan menengah bebas biaya, termasuk bagi siswa di sekolah swasta.
Melawan Diskriminasi Sosial Melalui Pendidikan
Menurut Bonnie, pendidikan yang terjangkau adalah kunci menciptakan keadilan sosial. “Ini bukan sekadar soal biaya sekolah, tapi soal keadilan dan kesetaraan akses. Putusan ini menghancurkan tembok diskriminasi ekonomi yang selama ini membatasi anak-anak dari keluarga miskin untuk mengakses pendidikan berkualitas,” tegasnya.
Ia juga mengaitkan ketimpangan akses pendidikan dengan sejarah kolonial. Kala itu, hanya anak-anak dari kalangan bangsawan atau elite pribumi yang bisa mengecap pendidikan tinggi, sementara rakyat biasa tertinggal jauh.
Bonnie merujuk pada novel Para Priyayi karya Umar Kayam untuk menggambarkan realitas sosial tersebut. Karakter Lantip dalam novel itu, yang berasal dari keluarga pedagang tempe, hanya bisa mengenyam pendidikan setelah diangkat oleh keluarga priyayi.
“Pada masa Belanda, sekolah-sekolah elit seperti Europeesche Lagere School atau sekolah hukum hanya terbuka untuk anak-anak elite. Sementara anak-anak dari keluarga biasa hanya bisa masuk ke sekolah Ongko Loro yang tidak memberikan jenjang karier tinggi,” lanjut Bonnie.
Ia menambahkan, ketika Indonesia merdeka, sekitar 80 persen dari total 62 juta penduduk tidak bisa membaca. Hal ini menunjukkan betapa timpangnya akses pendidikan kala itu.
Dorongan Serius untuk Pemerintah
Bonnie menekankan pentingnya tindak lanjut dari putusan MK ini. Menurutnya, keputusan ini tidak bisa dianggap sekadar produk hukum, tetapi harus dilihat sebagai wujud nyata dari semangat konstitusi dalam membangun martabat bangsa melalui pendidikan.
“Pemerintah harus menyambut putusan ini dengan komitmen penuh. Pendidikan gratis untuk semua, termasuk di sekolah swasta, adalah tonggak penting menuju SDM unggul dan bangsa yang berdaya saing,” ujarnya dilansir Antara.
Seminar Dihadiri Sejumlah Tokoh
Seminar nasional tersebut turut dihadiri sejumlah tokoh penting. Hakim MK Arief Hidayat hadir sebagai keynote speaker. Hadir pula Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Rizal Ul Haq, serta perwakilan dari Kementerian Keuangan, BRIN, dan tokoh-tokoh partai seperti Yuke Yurike, Rokhmin Dahuri, Sadarestuwati, Tri Rismaharini, dan Wuryanti Sukamdani.