Selasa, 30 Desember 2025

AI Bukan Musuh, GSM Soroti Hilangnya Nilai Kemanusiaan dalam Pendidikan


  • Kamis, 25 Desember 2025 | 08:30
  • | News
 AI Bukan Musuh, GSM Soroti Hilangnya Nilai Kemanusiaan dalam Pendidikan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) mengingatkan pemangku kebijakan agar sektor pendidikan di Indonesia tidak mengabaikan fondasi kemanusiaan dan terjebak pada perbaikan teknis semata. ANTARA/HO-Gerakan Sekolah Menyenangkan.

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) mengingatkan para pengambil kebijakan agar arah pendidikan nasional tidak hanya terpaku pada aspek teknis dan teknologi, tetapi tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Peringatan ini muncul di tengah pesatnya adopsi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam dunia pendidikan.

Founder GSM, Muhammad Nur Rizal, menegaskan bahwa teknologi sejatinya bukan ancaman utama. Masalah muncul ketika manusia sepenuhnya menyerahkan proses berpikir kepada mesin tanpa refleksi kritis.

“AI bukan masalah utamanya. Yang berbahaya adalah saat manusia berhenti berpikir dan menyerahkan keputusan pada mesin, padahal AI belajar dari data masa lalu yang juga sarat bias dan kesalahan manusia,” ujar Rizal dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (25/12/2025 seperti yang dikutip dari Antara.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam Forum Ngkaji Pendidikan bertema “Human & Education Reset” yang digelar di Yogyakarta pada Sabtu (20/12/2025). Dalam forum itu, Rizal menyinggung fenomena “paradoxical world”, yakni kondisi ketika teknologi berkembang pesat, tetapi kualitas pengambilan keputusan publik justru kerap mengabaikan sains, data, dan etika.

Menurutnya, hal ini terjadi karena sistem pendidikan terlalu fokus mengejar adaptasi teknologi, sementara kemampuan berpikir jernih, membaca realitas sosial, serta mempertimbangkan aspek moral justru terpinggirkan.

“Kita mengalami peningkatan kecerdasan, tapi kehilangan kebijaksanaan. Pendidikan kita pintar secara teknis, namun kurang membekali manusia dengan kedewasaan berpikir dan bertindak,” jelasnya.

Sebagai solusi, Rizal mendorong perlunya education reset melalui pendekatan liberal arts. Namun ia menegaskan, liberal arts bukan berarti menambah mata pelajaran baru atau meniru kurikulum Barat secara mentah.

“Liberal arts adalah kerangka berpikir. Ini tentang memulihkan kemampuan manusia untuk berpikir, merasa, dan bertindak secara utuh,” katanya.

Ia juga menilai pendidikan saat ini kehilangan dua fondasi utama: alat berpikir seperti logika, bahasa, dan retorika, serta pemahaman keteraturan alam, termasuk numerasi dan harmoni. Tanpa dua aspek tersebut, pendidikan berisiko melahirkan individu yang unggul secara teknis, tetapi rapuh secara moral.

Gagasan tersebut, lanjut Rizal, sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang menempatkan pendidikan sebagai proses menuntun manusia agar tumbuh utuh dan merdeka, bukan sekadar menjadi tenaga terampil.

“Jika sekolah hanya mencetak orang pintar tanpa kebijaksanaan, kita bukan sedang membangun masa depan, melainkan menyiapkan krisis berikutnya,” tutup Rizal.

Editor : Patricia Aurelia

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

News Terbaru