Rabu, 31 Desember 2025

Banjir Sumatra Bukan Sekadar Hujan Ekstrem: Ketika Deforestasi Membuka Jalan Bencana


  • Jumat, 26 Desember 2025 | 10:50
  • | News
 Banjir Sumatra Bukan Sekadar Hujan Ekstrem: Ketika Deforestasi Membuka Jalan Bencana Ilustrasi - Kajian terbaru dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) . (Tangkapan Layar)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Banjir besar yang melanda berbagai wilayah di Sumatra belakangan ini kembali menegaskan satu hal penting: bencana tidak pernah berdiri sendiri. Curah hujan ekstrem memang menjadi pemicu, namun kerusakan lingkungan dan lemahnya tata kelola wilayah membuat dampaknya jauh lebih destruktif.

Kajian terbaru dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menilai bahwa banjir bandang di Sumatra terjadi akibat kombinasi antara hujan ekstrem dan kondisi ekosistem yang sudah rapuh. Fenomena ini menjadi peringatan serius bahwa pendekatan penanganan banjir yang hanya bersifat darurat tidak lagi memadai.

Hujan Ekstrem Hanya Pemicu Awal

LPEM FEB UI mencatat bahwa hujan ekstrem yang terjadi dipengaruhi oleh siklon tropis, sebuah fenomena yang relatif jarang muncul di wilayah dekat ekuator. Namun, intensitas hujan tinggi saja tidak otomatis menimbulkan bencana besar jika lingkungan masih mampu menyerap dan mengendalikan aliran air.

Masalahnya, di banyak wilayah Sumatra, daya dukung alam tersebut telah melemah. Hujan deras yang turun di atas ekosistem yang rapuh berubah menjadi aliran air berkecepatan tinggi, membawa lumpur, bebatuan, hingga kayu gelondongan yang memperparah kerusakan di wilayah hilir.

Deforestasi Menghilangkan “Pelindung Alami”

Dalam laporan yang sama, LPEM FEB UI menyoroti hilangnya tutupan hutan dan degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai faktor kunci yang memperbesar risiko banjir bandang. Data kehilangan tutupan lahan di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dalam hampir satu dekade terakhir.

Alih fungsi hutan menjadi pertanian permanen, permukiman, hingga infrastruktur skala besar telah menghilangkan area resapan air alami. Ketika hujan ekstrem terjadi, air hujan tidak lagi terserap ke dalam tanah, melainkan langsung mengalir di permukaan dan meningkatkan limpasan secara drastis.

Kondisi inilah yang menjelaskan mengapa banjir di Sumatra kerap datang tiba-tiba, dengan daya rusak yang tinggi, dan sulit diprediksi oleh masyarakat.

Ekosistem Rapuh, Bencana Makin Destruktif

Banjir bandang bukan hanya soal genangan air, tetapi juga soal energi. Ketika aliran air membawa material besar dari kawasan hulu yang rusak, dampaknya menjadi berlipat ganda. Rumah, jembatan, dan fasilitas umum tidak hanya terendam, tetapi juga dihantam arus dan material berat.

Menurut analisis LPEM FEB UI, situasi ini memperlihatkan kegagalan pengelolaan lingkungan jangka panjang yang kini “dibayar mahal” oleh masyarakat. Bencana tidak lagi bersifat musiman, melainkan struktural dan sistemik.

Alarm Keras bagi Tata Kelola Lingkungan

Banjir Sumatra seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah pusat dan daerah. Selama deforestasi, alih fungsi lahan, dan degradasi DAS terus berlangsung tanpa kendali ketat, risiko banjir akan terus meningkat—bahkan di luar musim hujan ekstrem sekalipun.

Tanpa pembenahan tata kelola lingkungan yang serius, setiap hujan deras berpotensi berubah menjadi bencana. Dan dalam kondisi seperti ini, masyarakat selalu menjadi pihak yang paling terdampak.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

News Terbaru