Loading
Ilustrasi: Pembagian takjil melibatkan peserta dari lintas agama di depan Pos Polisi Bundaran Besar, Jalan Yos Sudarso, Palangka Raya, Selasa (20/6/2017) sore tahun lalu. (Borneonews.com)
SUASANA simpang empat, Jalan HM Arsyad dan Jl MT Haryono, Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalteng, pada Minggu (20/5/2018) sore menjelang waktu berbuka puasa padat dengan arus lalu lintas.
Di tengah kepadatan arus lalu lintas dan lampu merah yang silih berganti di empat arah jalan berbeda, puluhan pemuda membawa sejumlah kantong plastik berisi makanan untuk berbuka puasa atau sering disebut takjil, meski arti takjil sebenarnya bukanlah makanan, tetapi menyegerakan berbuka puasa.
Dengan bersemangat dan senyum mengembang, mereka membagikan takjil kepada pengendara yang sedang tertahan di bawah lampu merah.
Dengan cekatan, pemuda-pemuda itu membagikan takjil sambil berpacu dengan hitung mundur angka merah di layar lampu lalu lintas sebelum lampu hijau menyala yang menandakan pengendara harus melanjutkan perjalanan.
Di salah satu sudut simpang empat, Ricky Antonio turut bergabung dengan pemuda lainnya membagikan takjil. Di sudut lainnya, terlihat Purwiyanto dan Santo juga tampak membagikan takjil sambil menyapa warga.
Di sudut Selatan, Bambang Siswanto yang berperawakan tinggi, memantau pengendara untuk mencari pengendara yang belum kebagian takjil.
Ricky Antonio, Purwiyanto, Santo dan Bambang Siswanto, bukanlah pemeluk Islam sehingga tidak sedang berpuasa sebagaimana umat Islam saat ini.
Ricky mewakili Komunitas Orang Muda Katolik, Purwiyanto mewakili Komisi Pelayanan Pemuda dan Remaja Kristen Protestan Resor Sampit, Santo merupakan seorang basir atau tokoh agama mewakili Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan, dan Bambang Siswanto mewakili Keluarga Budhayana Indonesia Kabupaten Kotawaringin Timur.
Bersama mereka, juga ada Ustaz Fathul Anshari dari Pondok Pesantren Putra Borneo Sampit.
Ricky dan kawan-kawannya tahu bahwa warga Muslim sedang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan sehingga mereka ingin berbagi dengan sesama atas nama persaudaraan dan kemanusiaan, tanpa memandang perbedan agama, suku, ras dan antargolongan.
Mereka tidak ingin ada hal sekecil apapun yang bisa merusak persaudaraan yang terpatri selama ini.
Kegiatan sosial bersama seperti ini, memang bukan pertama kali dilakukan para pemuda lintas agama itu.
Namun kegiatan kali ini terasa makin bermakna dan makin penting sebagai pengingat bagi semua orang bahwa masyarakat Kotawaringin Timur selama ini hidup rukun berdampingan dan damai meski masyarakatnya beragam latar belakang agama, suku, ras dan antargolongan.
Serangkaian ledakan bom bunuh diri di tiga gereja dan lokasi lain di Surabaya pada Minggu (13/5/2018) yang merenggut banyak nyawa, kembali melukai kedamaian Indonesia.
Aksi biadab itu tidak hanya menimbulkan korban dari jemaat gereja, tetapi juga sejumlah Muslim yang berada di kawasan lokasi ledakan.
"Ya Tuhan, bangsa kami sedang dilanda banyak bencana. Salah satunya adalah serangan bom di Surabaya. Tuhan, janganlah Engkau jadikan bom itu menghancurkan persaudaraan, persatuan dan kesatuan kami. Justru, jadikanlah cobaan ini sebagai momen perekat persaudaraan dan persatuan bangsa kami," ucap Ricky Antonio dalam doanya.
Doa serupa juga dipanjatkan Bambang Siswanto. Dia memohon agar Tuhan menguatkan rasa kekeluargaan rakyat Indonesia, khususnya di Kotawaringin Timur.
"Jangan biarkan rakyat negeri ini terpecah belah oleh tindakan kelompok tidak bertanggung jawab. Jadikanlah negara dan rakyat kami selalu berbahagia dan aman," ucap Bambang saat memanjatkan doa.
Sambutan Positif
Pembagian takjil disambut positif oleh masyarakat yang melintas di persimpangan jalan itu. Bukan makanan berbuka puasa itu yang membuat masyarakat senang, tetapi teladan persaudaraan yang ditunjukkan para pemuda daerah ini yang membuat bangga.
"Saya kenal dengan beberapa dari mereka dan saya tahu mereka non-Muslim. Makanya saya merasa terharu karena mereka dengan penuh rasa persaudaraan ikut berbagi kebahagiaan dengan umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa dengan memberikan takjil," kata Mila, seorang pengendara yang menerima takjil.
Riskon Fabiansyah yang menjadi penggagas acara itu mengatakan, kegiatan yang sekaligus digelar memperingati Hari Kebangkitan Nasional itu merupakan bentuk keprihatinan pemuda di Kotawaringin Timur atas musibah yang melanda bangsa ini.
"Selama ini persaudaraan masyarakat Kotawaringin Timur sangat bagus, namun dengan kejadian di Surabaya minggu lalu, perlu rasanya kita untuk kembali lebih menguatkan komitmen kita menjaga persaudaraan ini. Kami masyarakat Kotawaringin Timur ini bersaudara. Kami tidak mempermasalahkan perbedaan agama karena itu hak masing-masing yang harus dihargai," kata Riskon.
Sebagai daerah yang pernah mempunyai pengalaman pahit dilanda konflik, masyarakat Kotawaringin Timur cukup peka terhadap masalah seperti ini.
Masyarakat daerah ini pernah merasakan beratnya cobaan akibat konflik karena semua pihak yang merasakan dampaknya. Karena itulah masyarakat berharap bencana kemanusiaan itu tidak terjadi di manapun.
Di bulan Ramadan, bulan sucinya umat Islam ini, tokoh muda lintas agama Kotawaringin Timur ingin mengajak dan mengingatkan kembali kepada masyarakat bahwa sejak dulu masyarakat daerah ini sudah terbiasa dengan perbedaan.
Bahkan leluhur Suku Dayak sudah memberi contoh melalui "huma betang" atau rumah betang, yakni rumah khas Suku Dayak berbentuk rumah panggung berukuran besar terdiri banyak kamar yang di dalamnya tinggal banyak keluarga, bahkan dari agama dan suku berbeda.
|Spektrum, Antara|