Selasa, 30 Desember 2025

Mobil ICE Tak Jadi Dilarang di Eropa 2035, Ini Aturan Baru UE


 Mobil ICE Tak Jadi Dilarang di Eropa 2035, Ini Aturan Baru UE Ilustrasi - Sejumlah pengunjung melihat Honda STEP WGN e:HEV dalam pameran bertajuk "Christmas Wonderland" yang digelar Honda Surabaya Center di Pakuwon City Mall. (Antara)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Rencana Uni Eropa (UE) untuk melarang total penjualan mobil bermesin pembakaran internal atau internal combustion engine (ICE) mulai 2035 resmi tidak dilanjutkan. Komisi Eropa memilih pendekatan baru yang lebih fleksibel, sembari tetap menargetkan penurunan emisi kendaraan secara signifikan dalam satu dekade ke depan.

Dalam kebijakan terbaru, produsen otomotif yang menjual mobil penumpang baru di wilayah UE diwajibkan memangkas emisi gas buang hingga 90 persen dibandingkan level tahun 2021. Angka ini lebih rendah dari proposal awal yang menargetkan penurunan 100 persen, yang secara praktis akan melarang mobil bensin dan diesel sepenuhnya.

“Pendekatan ini memberi ruang transisi bagi industri, tanpa mengorbankan tujuan utama UE menuju netralitas iklim,” ujar Komisi Eropa dalam pernyataan resminya seperti dilansir dari Antara, Kamis (18/12/2025). 

Sisa emisi sebesar 10 persen harus dikompensasi melalui berbagai skema, seperti penggunaan baja rendah karbon buatan Eropa dalam proses produksi kendaraan, atau pemanfaatan bahan bakar berkelanjutan seperti e-fuels dan biofuel.

Meski terlihat sebagai pelonggaran aturan, tuntutan terhadap pabrikan tetap sangat tinggi. Produsen mobil dituntut menjual lebih banyak kendaraan rendah emisi dan nol emisi agar bisa memenuhi target ambisius tersebut.

Sebagai gambaran, Volkswagen mencatat rata-rata emisi karbon dioksida armada mobil penumpangnya sebesar 118,5 gram CO₂ per kilometer pada 2021. Dengan aturan baru, angka itu harus ditekan menjadi hanya 11,85 g CO₂/km pada 2035.

Target ini dinilai mustahil tercapai jika pabrikan hanya mengandalkan mobil bensin dan diesel. Karena itu, kendaraan hibrida, plug-in hybrid (PHEV), extended-range electric vehicle (EREV), serta mobil listrik murni berbasis baterai (BEV) akan menjadi tulang punggung penjualan otomotif di Eropa dalam beberapa tahun mendatang.

Namun demikian, perhitungan emisi masih menggunakan standar WLTP, yang kerap dikritik karena dinilai kurang mencerminkan kondisi penggunaan nyata, khususnya untuk PHEV. Komisi Eropa mengakui evaluasi metode uji tersebut sedang dibahas, meski belum ada revisi resmi yang diberlakukan.

Di sisi lain, sejumlah pihak mengkhawatirkan kebijakan ini dapat membuka peluang lebih besar bagi masuknya mobil hibrida dan PHEV buatan Tiongkok ke pasar Eropa. Meski begitu, produsen asal Negeri Tirai Bambu sebenarnya sudah lebih dulu eksis di UE, baik melalui penjualan langsung maupun produksi lokal.

Beberapa merek seperti Xpeng dan GAC bahkan telah merakit kendaraan di wilayah UE, dan jumlah produsen yang mengikuti langkah tersebut diperkirakan akan terus bertambah.

Untuk mendukung transisi menuju industri otomotif yang lebih ramah lingkungan, Komisi Eropa juga meluncurkan program Battery Booster senilai 1,8 miliar euro. Dari jumlah tersebut, 1,5 miliar euro dialokasikan dalam bentuk pinjaman tanpa bunga guna memperkuat produksi sel baterai buatan Eropa.

“Tujuan kami adalah membangun rantai nilai baterai yang kuat dan mandiri di dalam UE,” kata Komisi Eropa.

Selain dukungan pendanaan, UE juga berjanji menyederhanakan birokrasi agar produsen mobil lebih mudah mengakses berbagai insentif. Kategori baru Small Affordable Cars turut diperkenalkan, mencakup kendaraan listrik dengan panjang di bawah 4,2 meter, guna mempercepat adopsi EV yang terjangkau di pasar Eropa.

 

Editor : M. Khairul

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Otomotif Terbaru