Loading
Paus Leo XIV saat bertemu dengan kaum muda di alun-alun di depan Patriarkat Maronit Antiokhia di Bkerké (@Vatican Media)
GLOBAL HARMONY - INTER FIDEI
BEIRUT, ARAHKITA.COM — Pertemuan Paus Leo XIV dengan ribuan anak muda Lebanon di alun-alun Patriarkat Maronit Antiokhia, Bkerké, pada 1 Desember 2025 meninggalkan gema emosional yang mendalam. Dalam suasana yang menyerupai Hari Pemuda Sedunia versi mini, kaum muda merasa kehadiran Paus bukan sekadar kunjungan resmi, melainkan sapaan seorang 'Kakak Besar' yang datang membawa damai.
Di alun-alun yang dipenuhi bendera Lebanon dan Takhta Suci, para pemuda bernyanyi, menari, dan menyambut pemimpin Gereja Katolik dengan semangat luar biasa. Mereka datang dari seluruh penjuru negeri—dari daerah pesisir hingga dataran tinggi—dengan satu harapan sederhana: didengar.
Hidup Muda di Tanah yang Ditimpa Krisis
Lebanon telah melewati badai panjang: krisis ekonomi sejak 2019, ledakan dahsyat di Pelabuhan Beirut pada 2020, pandemi, serta ketegangan politik dan konflik berkepanjangan. Semua itu membentuk masa depan yang serba tidak pasti, terutama bagi generasi mudanya.
Ralph Sarkis, 24 tahun, menggambarkan pertemuan dengan Paus sebagai momen penyembuhan, “Setelah semua yang terjadi, rasanya seperti ada kakak yang datang memeluk dan mengingatkan bahwa kami tidak dilupakan.”
Ia mengaku banyak teman sebayanya memilih meninggalkan Lebanon demi stabilitas. “Termasuk saudara saya sendiri,” ujarnya pelan. Meski pernah ragu, Ralph memutuskan tetap tinggal. “Saya percaya Tuhan menempatkan saya di sini untuk sebuah alasan.”
Hal serupa dirasakan Janice Ghossoub, 24 tahun. Menurutnya, menjadi anak muda di Lebanon berarti hidup dengan kekhawatiran berlapis. “Setiap kali kami mencoba merencanakan masa depan, selalu ada sesuatu yang mengguncangnya.” Namun cinta pada keluarga, masyarakat, dan karakter hangat orang Lebanon membuatnya bertahan. “Kami tumbuh dalam budaya komunitas. Itu tidak mudah ditinggalkan.”
Iman yang Menjadi Jangkar Harapan
Di tengah gejolak, banyak anak muda menemukan pegangan pada iman. Kunjungan Paus menjadi simbol bahwa mereka tidak berjalan sendiri.
“Sebagai pemuda Kristen Lebanon, rasanya penting sekali didengar,” kata Ralph. “Saya ingin anak-anak muda di mana pun berani mencari Tuhan, karena Dia satu-satunya sumber harapan,” dilansir dari Vatican News.
Ralph Yammine, anggota pramuka yang terlibat dalam penyelenggaraan acara, menambahkan bahwa generasi muda memang sempat kehilangan arah akibat kemerosotan ekonomi. “Tapi iman kami adalah kekuatan yang menahan kami tetap berdiri. Paus Leo datang untuk mengingatkan bahwa damai itu mungkin.”
Merayakan Kebersamaan Lintas Iman
Menariknya, momen ini tidak hanya menggugah komunitas Kristen. Janice menyebut, kehadiran umat Muslim yang ikut menyambut Paus menjadi simbol baru harapan kebersamaan. “Melihat semua orang—Kristen dan Muslim—menyambut beliau dengan sukacita, itu menggerakkan hati. Seolah kami melihat masa depan yang lebih damai, tempat hidup bersama benar-benar dapat terwujud.”
Marie-Lyne El Hayek, 25 tahun, menyimpulkan perasaan banyak anak muda yang hadir: “Lebanon adalah negeri yang indah tapi tidak mudah. Untuk bertahan, kami butuh iman. Kunjungan Paus membuat kami percaya bahwa hari yang lebih baik akan datang.”
Di negara yang telah lama diguncang tantangan, suara pemuda Lebanon hari itu terdengar jelas: mereka ingin tetap berharap, tetap bertahan, dan tetap saling menggenggam tangan—seperti keluarga besar yang sedang mencari cahaya di tengah kesuraman.