Loading
Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) RI Arif Havas Oegroseno ditemui usai menyampaikan pernyataan kunci pada agenda Annual Members Gathering oleh Indonesia Global Compact Network (ICGN) di Jakarta, Rabu (8/10/2025). (ANTARA/Nabil Ihsan)
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Republik Indonesia Arif Havas Oegroseno menyerukan agar sektor swasta di Tanah Air memperkuat peran dan komitmennya dalam pembangunan berkelanjutan secara konsisten dan berkelanjutan.
Menurut Havas, tren investasi hijau dan keberlanjutan kini semakin populer di kalangan perusahaan Barat, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat. Namun, ia menilai keterlibatan perusahaan Indonesia dalam agenda tersebut masih relatif rendah.
“Saya amati belum banyak perusahaan Indonesia yang berani mengambil langkah strategis dalam membiayai proyek-proyek pengurangan emisi atau investasi hijau,” ujar Havas dalam sambutannya pada Annual Members Gathering Indonesia Global Compact Network (ICGN) di Jakarta, Rabu (8/10/2025).
Sektor Swasta Punya Peran Strategis
Havas menegaskan, peran sektor swasta sangat krusial dalam menghadapi krisis iklim dan mendorong transisi menuju ekonomi hijau. Pemerintah, katanya, tidak bisa bekerja sendirian dalam menyediakan pembiayaan untuk inisiatif lingkungan dan keberlanjutan.
“Pemerintah pasti akan melibatkan sektor swasta dan lembaga donor multilateral, karena beban pembiayaan pembangunan hijau tidak bisa ditanggung sendirian,” tegasnya.
Meski diakui sejumlah perusahaan Indonesia telah menyalurkan dana besar untuk program Corporate Social Responsibility (CSR) di bidang lingkungan, Havas menilai langkah tersebut masih bersifat sporadis.
Ia berharap dunia usaha dapat mengambil pendekatan institusional yang reguler, menjadikan isu pembangunan berkelanjutan sebagai bagian integral dari strategi bisnis perusahaan, bukan sekadar kegiatan tambahan.
Tantangan Pendanaan dan Inovasi
Lebih jauh, Havas mengungkapkan bahwa salah satu tantangan utama pendanaan hijau di Indonesia terletak pada model pembiayaan yang masih berbasis proyek jangka pendek. Pendekatan ini, menurutnya, belum memberikan dampak transformatif bagi masa depan.
Selain itu, ia menyoroti minimnya investasi di bidang riset dan pengembangan (R&D) di kalangan industri nasional. Padahal, penguatan R&D dapat menjadi kunci inovasi untuk menghadapi perubahan iklim dan mempercepat transisi hijau.
Sebagai perbandingan, Havas menyebut industri di Jerman dapat mengalokasikan hingga 10 persen dari total anggaran perusahaan untuk R&D—sesuatu yang masih jarang dilakukan di Indonesia.
“Banyak perusahaan kita yang belum memiliki anggaran internal khusus untuk mitigasi dampak iklim. Kalaupun ada, sering kali dikategorikan sebagai CSR, padahal secara konsep itu berbeda,” ujarnya menekankan dilansir Antara.
Menuju Komitmen Nyata Sektor Swasta
Havas menutup dengan ajakan agar sektor swasta Indonesia tidak hanya berhenti pada retorika atau program jangka pendek, melainkan benar-benar menjadikan transisi hijau dan pembangunan berkelanjutan sebagai DNA perusahaan.
Dengan komitmen jangka panjang, dunia usaha Indonesia diharapkan dapat ikut memperkuat posisi negara dalam agenda global menuju masa depan yang lebih hijau dan berketahanan iklim.