Loading
Wakil Menteri Koordinator (Wamenko) Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Otto Hasibuan kepada awak media di Pantai Pasir Putih Aloha PIK 2, Kabupaten Tangerang, Jumat (8/8/2025).(Foto: inilah.com/ Rizki Aslendra)
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Wamenko Kumham Imipas) Otto Hasibuan menegaskan, revisi Undang-Undang (UU) Hak Cipta menjadi langkah penting untuk memberikan kepastian hukum terkait pembayaran royalti. Aturan yang lebih jelas diharapkan mampu melindungi hak para pencipta, penyanyi, pemilik hak cipta, sekaligus memberi kepastian bagi pelaku usaha seperti kafe dan restoran.
Menurut Otto, UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta belum mengatur secara tegas mekanisme pembayaran royalti, termasuk sanksi yang diberlakukan jika pelaku usaha tidak memenuhi kewajiban tersebut.
“Tidak bisa langsung dipidana tanpa ada aturan yang jelas. Harus ada ketegasan dan kepastian,” kata Otto usai menghadiri LAWASIA Belt and Road Initiative and Employment Law Conference 2025 di Jakarta, Senin (tanggal acara).
Ia menjelaskan, saat ini pengusaha yang memutar lagu di ruang publik komersial wajib membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). LMKN kemudian bertugas menyalurkan royalti tersebut kepada pencipta lagu, penyanyi, dan pihak yang memiliki hak terkait.
Namun, Otto menyoroti adanya praktik di lapangan di mana royalti dipungut tidak hanya oleh LMKN, tetapi juga langsung oleh pencipta lagu. Padahal, sesuai UU, LMKN adalah pihak resmi yang memungut royalti tanpa perlu surat kuasa dari pencipta.
“Kondisi seperti ini jelas membingungkan. Kalau dibiarkan, akan terus menimbulkan masalah,” tegasnya.
Otto juga mengungkap persoalan lain, yakni royalti pada acara musik yang seharusnya dibayar penyelenggara, namun justru dibebankan kepada penyanyi. Menurutnya, hal ini menunjukkan perlunya aturan yang lebih detail dan adil.
Ia berharap revisi UU Hak Cipta bisa segera rampung dengan melibatkan semua pihak, mulai dari pencipta, penyanyi, penyelenggara acara, hingga pelaku usaha. Pemerintah, kata Otto, juga siap memberikan masukan agar regulasi baru benar-benar menjawab masalah yang ada di lapangan.
Selain itu, ia menilai penting adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang siapa yang wajib membayar royalti untuk pemutaran lagu di ruang publik komersial. “Sebenarnya, yang wajib membayar adalah pelaku usaha kafe atau restoran, bukan penyanyi atau masyarakat umum,” pungkas Otto dikutip Antara.